Sabtu, 21 Maret 2015

Pengertian, Ukuran dan Hukum Zakat Fitrah dengan uang


A.      Pengertian dan Hukumnya

Zakat fitrah disyariatkan pada tahun kedua Hijriah bulan Sya’ban. Sejak saat itu zakat fitrah menjadi pengeluaran wajib yang dilakukan setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena telah menyelesaikan ibadah puasa. Selain untuk membahagiakan hati fakir miskin pada hari raya Idul Fitri, juga dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa kecil yang mungkin ada ketika seseorang melaksanakan puasa Ramadan, supaya orang tersebut benar-benar kembali pada keadaan fitrah dan suci seperti ketika dilahirkan dari rahim ibunya.
Para ulama bersepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap individu berdasarkan hadis Ibnu Umar ra yang berkata, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadan sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas setiap muslim merdeka atau hamba sahaya laki-laki atau perempuan” (HR. Bukhari Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, zakat fitrah diwajibkan kepada setiap muslim, baik merdeka maupun budak, laki-laki, perempuan, besar (baligh), kecil (belum baligh), kaya, dan miskin. Seorang laki-laki mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Seorang istri mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya atau oleh suaminya. Bayi yang masih dalam kandungan belum terkena wajib zakat fitrah. Tetapi kalau ada seorang bayi lahir sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadan, maka zakat fitrahnya wajib ditunaikan. Demikian juga kalau ada orang meninggal dunia setelah matahari terbenam pada hari terakhir di bulan Ramadan, zakat fitrahnya wajib pula dibayarkan.

B.       Kadar Zakat Fitrah

Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama lain sepakat bahwa zakat fitrah ditunaikan sebanyak satu sha’ (di Indonesia, berat satu sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg) kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Imam Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun, ukuran satu sha’ menurut mazhab Hanafiyyah lebih tinggi daripada pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Menyikapi perbedaan pendapat tentang kadar zakat fitrah, ada pandangan yang berusaha mengkombinasikan seluruh pendapat. Jadi, sekiranya bermaksud membayar zakat fitrah dengan beras, sebaiknya mengikuti pendapat yang mengatakan 2,5 kg beras. Tetapi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi kehati-hatian dalam menjalankan ibadah zakat.

C.      Ukuran Mud dan Sha’
 
Dalam beberapa hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali muncul nilai suatu ukuran atau takaran seperti mud dan sha' sebagaimana dua hadits berikut:
1.         Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha' hingga lima mud" (HR. Al Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325).
2.         Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma atau satu sha' gandum, baik atas budak, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, maupun dewasa dari kalangan kaum muslimin" (HR. Al Bukhari II/161, Muslim II/677-678, Abu Dawud no. 1611-1613, Ibnu Majah no. 1826, an Nasai V/48).

Maka dari itu, perlu kiranya kaum muslimin mengetahui ukuran-ukuran tersebut kemudian menyesuaikan dengan ukuran yang biasa dikenal, khususnya di Indonesia demi mendekatkan diri kepada sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3.         Berkata al Jauhari: "Al Mud dengan didhamah yaitu takaran yang beratnya 1 1/3 rithl menurut ahli Hijaz dan Imam Syafi'i serta 2 rithl menurut ahli Iraq dan Imam Abu Hanifah, serta 1 sha' sama dengan 4 mud" (Lisaanul Arab 3/400).
4.         Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan: "Dan mud itu merupakan bentuk dari takaran yaitu 1/4 sha', itulah kadar mud-nya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jamaknya adalah amdaad, midad dan midaad" (Majalah an Nashihah Vol 11 tahun 1427 H, hal. 37). Dengan demikian 1 sha' adalah 4 mud.
5.         Al Fayyumi rahimahullah berkata, "Para fuqaha berkata, 'Jika dimutlakkan istilah rithl dalam masalah furu' maka yang dimaksud adalah rithl Baghdadi'" (al Misbahul Munir hal. 230).
6.         Dr. Muhammad al Kharuf mengatakan, "Sekalipun terjadi perbedaan pendapat maka ukuran rithl Baghdadi sama dengan 408 gram" (al Idhah wa Tibyan, tahqiq oleh Dr. al Kharuf, hal. 56).
Dengan demikian jika mengikuti pendapat tersebut, maka 1 mud dalam gram kurang lebih adalah 544 gram (dari 1 1/3 dikali 408) dan satu sha' kurang lebih adalah 2176 gram (dari 544 dikali 4) atau 2,176 kilogram.
7.         Hai'ah Kibar Ulama di Saudi Arabia telah membahas ukuran sha' dengan kilogram, yang mana pembahasan itu berdasarkan ukuran sha' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sama dengan 4 mud dan 1 mud sama dengan sepenuh dua telapak tangan orang laki-laki sedang. Namun demikian fatwa yang bersumber dari Lajnah ad Da'imah nomor 12572 menetapkan bahwa 1 sha' Nabawi adalah ±3 kg. (Majmu' Fatawa Lajnah Da'imah juz 9, hal. 371). Wallahu a'lam.
8.         Syaikh al Utsaimin berpendapat bahwa 1 sha' diperkirakan setara dengan 2,04 kg jika dihitung dengan gandum berkualitas baik (al Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz. I, hal. 142-143).
Jika dikonversikan dalam bentuk liter (bukan rithl!) maka menurut madzhab Syafi'i 1 sha' adalah 2,75 liter (Majalah an Nashihah vol. 11 tahun 1427 H, hal. 38), artinya 1 mud adalah 0,6875 liter atau 687,5 mililiter. Sebagai perbandingan, botol minum air mineral merek aqua yang berukuran sedang berisi 600 mililiter air. Jadi kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan menggunakan ukuran 1 mud air berdasarkan hadits Anas bin Malik di atas, maka dapat dibayangkan betapa hematnya beliau menggunakan air untuk berwudhu.
9.         Menurut Beberapa Ulama Mazhab Fiqh, 1 sha' sama dengan 4 mud, dan 1 mud sama dengan 675 gram.  Jadi 1 sha’ sama dengan 2700 gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910).
10.     Menurut al-Rafi’i, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali, 1 sha’ sama dengan 693 1/3 dirham (lihat Al-Syarqawi, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295). Jika dikonversi 1 sha’ sama dengan 2751 gram (2,751 kg) (lihat Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu, Dar al-Fikr, Juz II hal. 911).
11.     Dalam al Qamus, mud adalah takaran, yaitu 2 rithl (menurut pendapat Abu Hanifah) atau 1 1/3 rithl (menurut madzhab jumhur) atau sebanyak isi telapak tangan sedang, jika mengisi keduanya, lalu membentangkannya, oleh karena itu dinamailah mud (lihat Subulus Salam, hal. 111).  Di dalam cetakan Darus Sunnah Press tertulis liter bukan rithl, dan yang masyhur adalah ucapan rithl, insya Allah ini yang benar, wallahu a'lam.
12.     Para Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sha' seperti Kyai Maksum-Kwaron Jombang menyatakan 1 sha’ = 3,145 liter, atau 14,65 cm3 atau sekitar 2751 gram (2,751 kg).
Pada umumnya di Indonesia, berat 1 sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,751 kg, dengan 1 sha’ sama dengan di bawah 2,5 kg. Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj, Juz I, hal 548, 1 sha’ adalah 2,4 kg (Kebanyakan berpegang pada pendapat ini). Ada juga yang berpendapat 1 sha’ adalah 2176 gram (2,176 kg).
13.     Di dalam kitab al Syarqawi, juz I hal. 371, Al-Nawawi menyatakan 1 sha’ sama dengan 683 5/7 dirham. Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram. Baca juga Idrus Ali, Fiqih Kontekstual; Khulasah Istilah-istilah Kitab Kuning, Kuliah Syari’ah PP. Sidogiri, 1423 H, hal. 20-21.
14.     Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 mud adalah ukuran isi sama dengan 5/6 liter (lihat kamus Umi Chulsum dan Windy Novia, hal. 469). Sedangkan 1 kati (rithl) adalah ukuran beratnya sama dengan 6,25 ons (lihat kamus Umi Chulsum dan Windy Novia, hal. 348).
15.     Dalam Kamus Al Munawwir mud adalah takaran ±6 ons (lihat al Munawwir. hal. 1318). Sedangkan 1 rithl/pound adalah takaran ±2564 gram = ±8 ons (lihat al Munawwir hal. 507).
Jika dilihat keterangan dalam kitab I’anatuth Thalibin Juz 2 hal. 172, kitab Fathul Wahhab Juz 1 hal. 114, kitab Al Iqna Juz 1 hal. 198, kitab al Muhadzdzab Juz 1 hal. 165, dan kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal. 385) rata-rata menyatakan bahwa 1 sha’ adalah 4 mud, 1 mud adalah 1 1/3 rithl. Jadi 1 sha’ = 5 1/3 rithl.
Dengan demikian menurut kamus Bahasa Indonesia 1 sha’ = 4 mud x 5/6 liter = 3,333 liter. Atau 6,25 ons x 5 1/3 rithl = ±33 ons = ±3,3 kg.
Sedangkan menurut kamus al Munawwir 1 sha’ = 4 mud x ±6 ons = ±24 ons = ±2,4 kg. Atau ±8 ons x 5 1/3 rithl­ = 42,67 ons = 4,267 kg.
16.     Imam Hanafi ukuran 1 sha’ menurut madzhab ini lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. 1 sha menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. 1 rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg). (lihat kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli Juz II, hal. 909).
Imam Hanafi juga memperbolehkan membayar ZAKAT FITRAH dengan UANG senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Diantara kelompok Hanafiyah adalah Imam Abu Yusuf menyatakan: Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang daripada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin. (Lihat Dr. Ahmad al-Syarbashi, Yasa’ alunaka fi al-Dini wa al-Hayat, Beirut: Dar al Jail, cet. ke-3, 1980, Juz II, hal. 174).
17.     Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan : Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya). (Baca Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Dar al-Qalam, cet. ke-3, 1966, hal. 120). Beliau memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan UANG, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Alhasil, apa yang terjadi di masyarakat, memang tidak lepas dari masalah khilafiyyah (perbedaan pendapat) yang sebenarnya sudah terakomodir oleh ulama madzhab. Menurut Imam Ghazali, wajib bagi orang awam untuk taqlid (mengikuti) salah satu madzhab. (Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, hal. 371.)

KESIMPULANNYA:
Zakat fitrah dengan 2,5 kg sesuai keterangan di atas hukumnya sah (Karena ada pendapat yang mengatakan 1 sha' = 2,176 kg) dan jika ingin mengeluarkan sebesar 2,751 kg hukumnya afdhal (semakin afdhal tentu lebih baik).
Namun untuk lebih berhati-hati yaitu dengan mengambil pendapat dari Imam Syafi'i, menurut keterangan di atas, 1 sha' adalah 2,751 kg dapat dibulatkan menjadi 3 kg karena lebih mudah dalam pembeliannya. Tetapi sekali lagi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan UANG, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi kehati-hatian dalam menjalankan ibadah zakat.
Semoga Allah memberikan barokah atas kelebihan tersebut dan memberikan barokah dan ridho-Nya kepada kita agar selamat di dunia dan akhirat. Amiiiin…. (Wallahu A’lam Bishshowab).


D.      Waktu Pembayaran Zakat Fitrah

Waktu wajib membayar zakat fitrah pada asalnya adalah sewaktu matahari terbenam pada malam hari raya Idul Fitri. Tetapi tidak ada larangan apabila membayarnya sebelum waktu tersebut, asalkan masih dalam hitungan bulan Ramadan.




Dikalangan masyarakat saat ini, pada saat pembayaran zakat fithrah diakhir Ramadhan, banyak yang membayarnya dengan uang dengan harga beras yang mereka makan sehari-hari. Hal ini didukung oleh beberapa pihak yang mengeluarkan fatwa demikian. Namun sebagian kalangan tetap mempertahankan zakat fitrah dengan beras.

Pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum fiqh tentang membayar zakat fithrah dengan uang?

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan dalam kasus di atas ada baiknya kita melihat dulu bagaimana jenis zakat fithrah yang dikeluarkan berdasarkan 4 mazhab yang mu`tabar.

Beberapa pendapat ulama mazhab sebagai landasan untuk menjadi pegangan tentang jenis-jenis harta yang dikeluarkan untuk zakat fitrah:
1.        Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah[1], berpendapat bahwa jenis-jenis makanan yang dikeluarkan    dalam zakat fitrah adalah hinthah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma), zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah (gandum yang sudah menjadi tepung) dan sawiq (adonan tepung).Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:

اَدّوا قَبْلَ الخُرُوْجِ زَكَاةَ الفِطْرِ فَاِنّ عَلىَ كُلّ مُسْلِمٍ مُدًّا مِنْ قَمْحٍ اَوْ دَقِيْقٍ

Artinya : “tunaikanlah zakat fitrah sebelum kamu keluar untuk sembahyang, maka wajib atas setiap orang merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum)”.

Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga berpendapat boleh pula mengeluarkan zakat fitrah dengan cara menghargakan makanan-makanan yang disebutkan di atas dengan menggunakan uang atau barang-barang yang lain dari apa saja yang dikehendakinya, bahkan beliau berpendapat mengeluarkan uang lebih baik dari pada menggunakan qut (makanan pokok yang dapat disimpan dan tahan lama) dikarenakan uang lebih banyak manfaatnya dan bisa digunakan untuk kebutuhan yang diinginkan fakir miskin, hal ini didasari hadits Rasulullah S.A.W.

اُغْنُوْاهُمْ عَنِ الطّلَبِ فِى هَذَا اْليَوْمِ

Artinya : “Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”.

Hadits di atas, menganjurkan kita memperkaya orang miskin yaitu memenuhi kebutuhannya, untuk memenuhi kebutuhan para fuqaraa (orang-orang miskin) boleh dengan cara memberi makanan boleh pula dengan memberikan uang atau barang yang lain, bahkan menggunakan uang lebih cocok dalam menunaikan hajat para fuqaraa, dan sipemberi pun lebih mudah dalam menunaikannya. Dan Abu Yusuf berkata : “aku lebih cinta mengeluarkan daqiq dari pada gandum kemudian uang lebih baik dari pada daqiq dan gandum karena uang lebih dominan dalam menunaikan kebutuhan orang-orang fakir”.

Adapun kadar yang dikeluarkan    dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah adalah 1/2 sha’ gandum atau 1 sha’ sya’ir, 1 sha’ kurma, pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sha’labah bin Su’ar al-Uzry:

أدّوا عَنْ كُلّ حُرّ وَعَبْدٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرّ, اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍاَوْمِنْ شَعِيْرٍ

Artinya : “Tunaikanlah dari setiap orang merdeka dan hamba ½ sha’ gandum atau satu sha’ kurma ataupun syair”.

Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebagian berpendapat satu sha’ anggur dan sebagian yang lain berpendapat 1/2 sha’ anggur. 1 sha’ = 8 rithl Irak menurut mazhab Hanafi, 1 rithl ‘Iraqiy 230 Dirham atau 3800 gram karena Nabi Saw berwudhu dengan 1 mud yaitu 2 rithl dan mandi dengan 1 sha’ yaitu 8 rithl.[2]

2.        Mazhab Maliki
Imam Malik[3], berpendapat zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah qut balad (makanan pokok suatu daerah), akan tetapi beliau membatasi qut balad tersebut hanya delapan macam yaitu gandum, syair, sulti, jagung, dakhan, kurma, anggur, dan susu yang sudah kering yang tidak diambil buihnya. tidak boleh mengeluakan makanan selain sembilan macam yang disebutkan di atas seperti ful (kacang-kacangan) dan adas.
Apabila terdapat jelas yang delapan ini atau sebagiannya, maka boleh dipilih salah satunya untuk mengeluarkannya. Dan jika dalam suatu daerah mengkonsumsi dua macam jenis makanan pokok seperti padi dan jagung dan keduanya sama dibutuhkan dalam daerah tersebut maka boleh terhadap muzakki memilih diantara keduanya, kemudian apabila terdapat seluruhnya atau sebagiannya sedangkan yang dijadikan makanan pokok itu lain maka wajib dikeluarkan barang yang dijadikan makanan pokok kecuali makanan tersebut kurang baik ketimbang jenis yang delapan tersebut. Golongan yang bermazhab Maliki berpendapat boleh mengeluarkan daging bila sudah dijadikan makanan pokok. Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malik adalah 1 sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah 4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7 atau 5 1/3 rithl Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil).

3.        Mazhab syafi’.
Imam Syafi’i[4], berpendapat zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan menggunakan qut (makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermazhab Syafi’i berbeda pendapat tentang qut yang digunakan dalam menunaikan zakat fitrah. Diantara mereka ada yang berpendapat qut yang digunakan adalah qut balad yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki (orang yang berzakat) tidak mengkonsumsinya. Sebagian yang lain berpendapat qut yang digunakan adalah qut dirinya yaitu makanan pokok yang ia konsumsi walaupun daerah tersebut mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Ada juga yang berpendapat boleh kedua-duanya.
Maka pendapat jumhur, qut yang digunakan adalah qut yang dikonsumsi suatu daerah, dan boleh juga mengeluarkan qut yang tidak ia konsumsi asalkan yang lebih baik, seperti suatu daerah mengkonsumsi beras maka boleh mengeluarkan gandum, dan daerah yang mengkonsumsi anggur boleh mengeluarkan kurma dan lain sebagainya, lebih baik yang dimaksudkan disini adalah banyak dijadikan sebagai qut (makanan pokok), bukan harganya lebih mahal.

Imam Syafi’i juga berpendapat jika dalam suatu daerah ada beberapa macam makanan pokok yang dikonsumsi maka boleh mengeluakan zakat fitrahnya makanan pokok apa saja yang diinginkannya, akan tetapi yang lebih baik mengeluarkan makanan pokok yang lebih bagus, tidak boleh mengeluarkan beberapa jenis dalam 1 sha’, seperti 1/2 sha’ kurma dan 1/2 sha’ anggur.

Menurut pendapat Imam Syafi’i kadar 1 sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 rithl Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan    Rasulullah Saw adalah takarannya diketahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkan   nya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain”.[5]

4.        Mazhab Hambali
Imam Hambali[6], berpendapat makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah hanya beberapa jenis makanan saja yang telah dinashkan oleh Rasulullaah Saw yaitu gandum, sya’ir, kurma, anggur, susu yang kering. Beliau juga berpendapat boleh mengeluarkan sawik dan daqiq yaitu makanan pokok yang sudah menjadi tepung. Dan jika tidak didapatkan jenis-jenis yang telah disebutkan maka boleh mengeluarkan biji-bijian atau buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, tidak boleh mengeluarkan yang lain seperti daging sekalipun dijadikan sebagai makanan pokok. Sedangkan kadar yang dikelurkan adalah 1 sha’ sama dengan 4 cidukan kedua telapak tangan orang yang pertengahan atau 2751 gram, berkata sekolompok ulama 2176 gram.

Dari uarain tersebut, dapat disimpulkan bahwa diantara 4 mazhab yang mu`tabar hanya Mazhab Hanafi yang membolehkan membayar zakat fithrah dengan uang.[7]

BERAMAL DENGAN MAZHAB HANAFI

Imam Hanafi adalah salah seorang Ulama Mujtahid Muthlaq yang hasil ijtihadnya sah diikuti oleh semua umat Islam. Walaupun pendapat yang kuat tentang zakat fitrah adalah pendapat dari Imam Syafi’i, namun boleh saja kita mengeluarkan zakat fitrah dengan berpagang kepada pendapat Imam Hanafi yaitu membayar zakat fitrah dengan uang.

Berkata Ibnu Jamal, pendapat yang shahih dari kalam mutaakhkhirin seperti Ibnu Hajar dan lainnya bahwa boleh berpindah dari satu mazhab kepada mazhab yang lain yang mudawwan (terkodifikasi) walaupun hanya karena keinginan semata, baik berpindah untuk selama-lamanya ataupun pada sebahagian masalah saja sekalipun ia pernah berfatwa dan memutuskan hukum dan beramal dengan mazhab yang lain selama tidak terjadi talfiq (mengikuti pada sebagian hal dalam satu perkara) sehingga kedua Imam tersebut tidak mengakui keshahihan amal tersebut.[8]

Para ulama syafi’iyah sepakat bahwa perbuatan yang dikerjakan dengan talfiq tidak sah, bahkan sebagian kalangan ulama berpendapat bahwa para ulama telah ijmak bahwa amalan yang dikerjakan dengan talfiq tidak sah.[9]

Oleh karena itu, membayar zakat fitrah dengan uang harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi hanya menetapkan zakat fitrah pada empat jenis makanan saja, yaitu : hintah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma), dan zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan sawiq (adonan tepung). Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah adalah 1/2 sha’ gandum atau 1 sha’ sya’ir, 1 sha’ kurma. Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebagian berpendapat 1 sha’ anggur dan sebagian yang lain berpendapat 1/2 sha’ anggur. 1 sha’ sama dengan 8 rithl Irak menurut mazhab Hanafi. 1 rithl Irak sama dengan 230 dirham atau 3800 gram karena Nabi Saw berwudhu dengan 1 mud yaitu 2 rithl dan mandi dengan 1 sha’ yaitu 8 rithal.[10]

Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malik adalah 1 sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah 4 mud. Yaitu 685 dirham 5/7 atau 5 1/3 rithl Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil).

Menurut pendapat Imam Syafi’i kadar 1 sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 rithl Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan    Rasulullah Saw adalah takarannya diketahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkan   nya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain”.

Sedangkan kadar yang dikelurkan menurut Imam Hambali adalah 1 sha’ sama dengan 4 cidukan kedua telapak tangan, dari tangan orang yang pertengahan atau 2751 gram, berkata sekolompok ulama 2176 gram.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa, membayar zakat fitrah dengan uang haruslah dari harga hintah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma) dan zabib (anggur). Tidak sah membayar zakat fitrah dengan harga beras, karena Imam Hanafi berpendapat tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dari selain empat jenis makanan tersebut seperti dengan harga beras sebagaimana dikerjakan kebanyakan masyarakat saat ini.

Kemudian kadar yang dikeluarkan adalah 1/2 sha’ gandum atau 1900 gram (1,9 kg) atau 1 sha’ sya’ir atau 1 sha’ kurma yaitu 3800 gram (3,8 kg). Tidak sah menghargakan gandum atau kurma dengan kadar 1 sha’ dalam mazhab Syafi’i dan Maliki yaitu 2764 gram (2,764 kg) atau kadar 1 sha’ dalam mazhab Hambali yaitu 2751 gram (2,751 kg) atau 2176 gram (2,176 kg).




[1]  Beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi nama kecilnya adalah Imam Abu Hanifah. Lahir di Kufah,  suatu kota yanng terletak dinegara Irak sekarang, pada tahun 80 H (696 M) dan kemudian meninggal di Kota itu juga pada tahun 150 H (767 M), meninggalnya tepat pada tahun lahirnya Iam Syafi’I. Abu Hanifah adalah nama panggilan dari Nu’man bin Tsabit bin zauthi. Terdapat beberapa riwayat yang menerangkan bahwa “Hanifah” adalah nama dari salah seorang anak beliau. Abu Hanifah berarti “ Bapak Hanifah “, karena beliau adalah bapaknya Hanifah maka dipanggillah “Abu Hanifah Riwayat kedua menerangkan bahwa “Hanifah “ berarti cenderung maksudnya, cenderung kepada agama Islam, sehingga beliau sangat teguh memegang prinsip-prinsip agama Islam. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal. 69).
[2]  Wahbah Zuhaily. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuh. Jilid III. Hal 2044. Darul Fikri Dimsyik.
[3] Beliau adalah Malik bin Anas bin Malek bin Abi ‘Amaar Al-Ashbahi Al-Yamani. Ibunya adalah Ainsyah putri syarek Al-Azdiyah yang juga berasala dari Yaman. Lahir tahun 93 H (712 M) di kota Madinah dan wafat di kota Madinah pula tahun 179 H (789 M)dalam usia 87 tahun. Kakek beliau Abu ‘Amaar datang ke Madinah setelah Nabi muhammad saw wafat, karena itu ia tidak termasuk kedalam saalah satu sahabat rasulullah saw, akan tetapi termasuk dalam golongan tabi’in.Malek dilahirkandi tengah-tengah keluarga yang kurang mampu akan tetapi tekun dalam mempelajari ilmu Agama Islam, terutama mempelajari hadits-hadits Nabi muhammad saw. Kakek beliau termasuk dalam ulama Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Talhah. Hadits-hadits ini kemudian diriwayat oleh cucunya yaitu Imam Malek, yangf diterimanya dari Nafi’ dan Abu Sahal, salah seorang guru Az-Zuhri. Malek bin Anas mulai belajar dan menghafal Al-Quran sejak masih kecil, kemudian pada usianya yang masih muda beliau sudah sanggup menghfal seluruh Al-Quran. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadits, permintaan beliau kepada ibunya untuk mengunjungi majlis pelajaran dikabulkan dengan senang hati bahkan ibunya menyuruh Malek untuk belajar kepada Rabi’ah (wafat 136 H) seorang ahli figh dari golongan ahli ra’ji (rasional). (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.80).
[4] Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’I bin Said bin Abu Yaziz Hakim bin Muthallib bin Abdul Manaf. Keturunana beliau dari pihak bapak bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad Saw. Pada Abdul Manaf. Oleh karena itu, beliau masih termasuk suku quraisy. Ssedang ibu beliau bukan dari suku quraisy, berasal dari golongan Al-Azd. Beliau lahir di Guzzah (Ghaza), salah satu kota di daerah palestina dipinggir Laut Tengah pada tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir tahun 204 H (822 M). Ayah beliau meninggal ketika beliau masih kecil dan dalam keadaan demikian beliau dibawa oleh ibunya ke mekkah dan menetap disana. Di Mekkah kedua orang ibu dan anak ini hidup dalam keadaan miskan dan kekurangan, namun si anak (asy-syafi’i) mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu pengetahuan, sedang si ibu bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, si ibu berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu. Mula-mula beliau belajar dan menghafal Al-Quran. Karena kesungguhanya beliau telah menghafal Al-Quran sewaktu berumur 9 tahun, disamping itu beliau juga menghafal segala hadits-hadits. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya beliau hampir tidak dapat menyiapkan seluruh peralatan belajar yang beliau perlukan, sehingga beliau terpaksa mencari kertas yang tidak dipakai atau yang telah dibuang, akan tetapi masih bisa dipakai untuk menulis. Kemudian atas persetujuan ibunya, maka beliau pergilah beliau ke perkampungan kabilah Nudzail yang berdiaam di salah satu dusun di luar Kota Mekkah. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.88).
[5]  Imam an-Nawawi Raudhatu at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut
[6] Beliau adlah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syabany Al-Marwazy, lahir tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdal Malek bin Sawadah bin Hindun Asy-Syaibaniy. Jadi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal dari Bani Syaibah, salah satu kabilah yang berdiam semenanjung Arabia. Ayah beliau Muhammad, adalah tentara dinasti Abbasiah yang bertugas dikota Maewi, salah satu kota yang berada diwilayah Khurasan, Asia tengah. Sewaktu ibunda belau hamil ayahnya pergi ke Baghdad pusat kerajaan Abbasiah dan menetap di sana. Di samping itu, banyak anggota keluarga beliau yang lain menjadi tentara dan angota pemerintahan Abbasiyah. Sekalipun Imam Ahmad dibesarkan dalam keluarga yang demikian,namun beliau dikemudian hari tidak mempunyai cita-cita menjadi pegawai. Semula beliau dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tuanya, tetapi dalam usia 30 tahun, bapak beliau meninggal dunia, sehingga kelanjutan pendidikan beliau dibiayai olah ibunya. Sejak kecil beliau mulai membaca dan menghafal Al-Quran. Pada usia 14 tahun beliau sudak mampu menghafal seluruh Al-Quran. Dalam usaha menuntut ilmu hadits dan mengumpulkan hadits dari para penghafal hadits dan dengan perbelanjaan yang sangat kurang, pada tahu 186 H beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Kuffah, Basrah ,Syam,Mekkah dan Madinah. Di Mekkah beliau bertemu dengan Imam Syafi’I dan belajar padanya. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.96).
[7] Lihat juga Imam Nawawy, Majmuk Syarah Muhazzab jilid 7, Dar Kutub Ilmiyah 2007, Imam Mawardi, Hawy Kabir jilid 15 hal 301, Dar Kutub Ilmiyah.
[8] Sayid Bakri Syatha, I’anatuth Thalibin, Juz. IV, hal. 217.
[9] Ibnu Jamal al-Makky, Fathul Majid bi Ahkam Taqlid, hal 12.
[10] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh . Jilid III, hal 2044, Dar Fikr.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar