Minggu, 12 April 2015

PENGERTIAN LAILATUL QADAR

Perdebatan di seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat Islam, hingga kini belum menemukan titik-temu yang cukup memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat Islam terhadap momentum Nuzulul Quran yang diperingati setiap tahun pada bulan Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan terjadi secara pasti pada tanggal 17 Ramadhan, yang oleh karenanya diyakini bahwa pada saat itulah (wahyu) al-Quran pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan Lailatul Qadar? Disinilah persoalan penting - kontroversi - yang semestinya segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari para ulama yang kompeten untuk menjawabnya.
Salah satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah Lailah al-Qadr (secara populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti di Jawa tempo dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadar. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiriah dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan “musnah”, tanpa guna.
Jadi pertanyaan adalah apakah Lailatul Qadar terjadi sekali saja yakni malam ketika turunya al Quran 15 abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan setiap tahun?. Apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kedatangannya?
Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadar dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadar dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi. Sedang dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai sebagai “malam kemuliaan”.
Dalam al-Quran penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadar itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam Surat al Qadr (QS 97: 1-5):
“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Rûh (yang dalam hal ini ialah Rûh Qudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas, adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar. Menurut Ibn Abbas - sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir - yang dimaksud ialah diturunkannya al Quran itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lauh al-Mahfûzh (Papan Yang Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit terendah yakni samâ’ al dunyâ (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al Quran juga disebutkan di bagian lain dalam al Quran sebagai malam yang diberkati (Lailah Mubarakah), dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al Quran, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan yang salah). Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadar dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al Quran, yang biasa disebut sebagai malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia).
Menurut sejarah yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al Quran: Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Anfal/8:41).

Penjelasan:  Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr. Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Yang dimaksud dengan apa Ialah: ayat-ayat Al Quran, Malaikat dan pertolongan. Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17 Ramadhan.
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran.
Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah hari “Perang Badar”. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara kebetulan Proklamasi Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat). Pada Perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut hari yang menentukan (yaum al furqân) karena perang itu adalah yang pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman, para pengikut beliau, dengan kemenangan (yang) telak, kemenangan yang benar (al haq), tauhîd, atas yang palsu (al bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tetapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar yang demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran, adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai umat Islam, berdasarkan keterangan Nabi s.a.w., dalam hadis, bahwa Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana diantara malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya (malam) Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar umat Islam tidak mengkhususkan dalam memperbanyak ibadah hanya dalam satu malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam sepuluh malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah itu. Tetapi, karena perbedaan tersebut, maka di Indonesia ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negara Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah Sesutu yang berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al Quran dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al Quran itu bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al Quran, yang kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di dalam al Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu yang dalam perspektif dakwah “baik”, dan oleh karenanya layak dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan social keagamaan kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari titik temu, sehingga tidak ‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai peringatan Nuzûlul Qurân setiap tahun .
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT (terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al Quran itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al Quran ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui cukup otoritatif oleh sebagian peminat studi al Quran, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan (yaum al furqân) itu adalah al Quran itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al Quran.
Dalam Surat al Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahnya: “pada malam itu, turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud "Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al Quran yang juga memiliki otoritas, mengartikan Rûh dalam firman Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi) dalam “makna” yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Wallâhu A’lam.
Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan dan kebesaran, Karena pada malam itulah permulaan turunnya (wahyu) al-Quran.
QS al-Dukhân, 44: 3
QS al-Baqarah, 2: 185.
QS al-Anfâl, 8: 41.
Makna barakah dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan bersifat kontinyu atau berkesinambungan.
            Dari al Quran ditemukan penjelasan bahwa wahyu Allah diturunkan pada Lailatul Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat bahwa al Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah Nabi Muhammad wafat maka berdasarkan logika tersebut ada sebagian umat Islam yang berpendapat Lailatul Qadar tidak akan hadir lagi. Namun pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama karena mereka berpegang pada teks al Quran dan Hadits Nabi bahwa Lailatul Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Nabi bersabda

تَحَرّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فىِ الْوِتْرِ مِنْ عُشُرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ (رواه البخارى عن عائشة)
Hadits tersebut menganjurkan agar umat mempersiapkan jiwa mereka menyambut Lailatul Qadar khusus pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Penjelasan tersebut diperkuat dengan kalimat mudhari’ (present tense) dalam ayat 4 surat al Qadar yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadi sesuatu pada masa kini dan masa dating (dalam ilmu nahwu disebut zaman hal dan zaman istiqbal).
Jika membaca sejarah Nabi beliau pertama kali menemui Lailatul Qadar adalah saat beliau sedang menyendiri di Gua Hira, merenung tentang dirinya dan masyarakat, saat jiwa Nabi telah sampai pada kesuciannya turunlah Ar Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing Nabi sehingga terjadi perubahan total dalam perjalanan hidupnya bahkan perjalanan hidup manusia. Berdasarkan sejarah tersebut maka menurut hemat saya Lailatul Qadar tidak serta merta menemui atau ditemui oleh orang yang hanya mempersiapkan diri ketika malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Namun jauh dari itu Lailatul Qadar hanya akan menemui dan ditemui oleh orang yang sejak awal kehidupannya sudah mempersiapkan diri dengan menyucikan jiwanya. Pendapat tersebut bukan berarti mengucilkan usaha orang yang beri’tikaf pada malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan namun menganjurkan agar kita selalu menyucikan jiwa selama perjalanan hidup ini agar kita siap menerima segala hal yang suci dari Allah SWT.
Mengenai tanda-tanda fisik Lailatul Qadar ada banyak riwayat menjelaskan kedatngannya diantaranya:
وَأمّارَتُهَا أنْ تَصْبِحَ الشّمْسُ فىِ صَبِيْحَةِ يَوْمِهَا بَيْضًا وَلاَشِعَاعَ لَهَا
Tanda kehadiran Lailatul Qadar adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
وَأمّارَتُهَا أنّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَانَ فِيْهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةً لَابُرْدَ فِيْهَا وَلَا حَرّ.....
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas…(HR. Ahmad dan Hambal).
Sayyid Abu Bakar menjelaskan bahwa jika awal Ramadhan dimulai pada hari ahad atau rabu maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 29 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari senin maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari selasa atau jum’at maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 27 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari kamis maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 25 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari sabtu maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 30 Ramadhan. (baca I’anatuth Thalibin, jilid. 2 bab lailatul qadar).


Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 2
Tafsir Ash Shawi, jilid. 2
Tafsir An Nawawi, jilid. 1
Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid. 1
I’anatuth Thalibin, jilid. 2

Wawasan al Quran, Qurasih Shihab.

Jumat, 10 April 2015

PENGERTIAN, HUKUM, HIKMAH, DAN SYARI'AT AQIQAH

Definisi Aqiqah

Aqiqah (bahasa Arab: عقيقة, transliterasi: Aqiqah) adalah pengurbanan hewan dalam syariat Islam, sebagai penggadaian (penebus) seorang bayi yang dilahirkan.[1] Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah muakkadah, dan ini adalah pendapat jumhur ulama menurut hadits.[2] Kemudian ada ulama yang menjelaskan bahwa aqiqah sebagai penebus adalah artinya aqiqah itu akan menjadikan terlepasnya kekangan jin yang mengiringi semua bayi sejak lahir.[3]
Aqiqah berarti menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahiran seseorang anak. Menurut bahasa, Aqiqah berarti pemotongan. Hukumnya sunah muakkadah bagi mereka yang mampu, bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.

Syariat 'Aqiqah

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz Al Ka’biyah bahwa ia bertanya kepada Rasulullah tentang Aqiqah. Dia bersabda, “Bagi anak laki-laki disembelihkan dua ekor kambing dan bagi anak perempuan disembelihkan satu ekor, dan tidak akan membahayakan kamu sekalian, apakah (sembelihan itu) jantan atau betina.”

Bisa disimpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi 'Aqأqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqiqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala.

Kata Aqiqah berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti 'memutus'. Aqiqah wi¢lidayhi, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, Aqiqah berarti "menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak".

Aqiqah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah hadits Rasulullah saw, "Setiap anak tertuntut dengan Aqiqahnya'? Ada hadits lain yang menyatakan, "Anak laki-laki (Aqiqahnya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan (Aqiqahnya) dengan 1 ekor kambing'? Status hukum Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas. Para ulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama, dan seandainya Aqiqah wajib, maka Rasulullah  juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.

Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu hadits di atas, "Kullu ghuli¢min murtahanun bi 'aqiqatihi'? (setiap anak tertuntut dengan Aqiqahnya), mereka berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan dalil wajibnya Aqiqah dan menafsirkan hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di Aqiqahi. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa Aqiqah adalah sunnah.

Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah Aqiqah tersebut.

Mengenai kapan Aqiqah dilaksanakan, Rasulullah  bersabda, "Seorang anak tertahan hingga ia di Aqiqahi, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu'?. Hadits ini menerangkan bahwa Aqiqah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa Aqiqah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika Aqiqah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan.

Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih Aqiqah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. 'Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa Aqiqah anak laki-laki sama dengan Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah  mengaqikahi Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Husein (keduanya adalah cucu) dengan 1 ekor kambing.

Bisa disimpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi Aqiqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk Aqiqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala.

Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara Aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan, maka jawabannya adalah bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga bisa diambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya (qawwamah) dalam suatu rumah tangga.

Dalam penyembelihan Aqiqah, banyak hal yang perlu diperhatikan, diantaranya, sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan Aqiqah tersebut, dengan hikmah tafa'™ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak tersebut. 'Aqiqah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah. Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa Aqiqah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah saw.

Ada perbedaan lain antara Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan Aqiqah dibagi-bagikan dalam keadaan matang. Hikmah syariat Aqiqah yakni dengan Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan Aqiqah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya, dan lebih dari itu semua, bahwasanya Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam.


Hikmah Aqiqah

Aqiqah Menurut Syaikh Abdullah nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam sebagaimana dilansir di sebuah situs memiliki beberapa hikmah di antaranya: Menghidupkan sunah Nabi Muhammad dalam meneladani Nabiyyullah Ibrahim tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menebus putra Ibrahim yang tercinta Ismail.

1.    Dalam Aqiqah ini mengandung unsur perlindungan dari syaitan yang dapat mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadis, yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan Aqiqahnya.”[4] Sehingga Anak yang telah ditunaikan Aqiqahnya insya Allah lebih terlindung dari gangguan syaithan yang sering mengganggu anak-anak. Hal inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah "bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh Aqiqahnya".
2.    Aqiqah merupakan tebusan hutang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Sebagaimana Imam Ahmad mengatakan: "Dia tergadai dari memberikan Syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan Aqiqahnya)".
3.    Merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lahirnya sang anak.
4.    Aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syari'at Islam dan bertambahnya keturunan mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah SAW pada hari kiamat.
5.    Aqiqah memperkuat ukhuwah (persaudaraan) di antara masyarakat.

Menurut Drs. Zaki Ahmad dalam bukunya "Kiat Membina Anak Sholeh" disebutkan manfaat-manfaat yang akan didapat dengan berAqiqah, di antaranya:
1.    Membebaskan anak dari ketergadaian
2.    Pembelaan orang tua di hari kemudian
3.    Menghindarkan anak dari musibah dan kehancuran, sebagaimana pengorbanan Nabi Ismail dan Ibrahim
4.    Pembayaran hutang orang tua kepada anaknya
5.    Pengungkapan rasa gembira demi tegaknya Islam dan keluarnya keturunan yang di kemudian hari akan memperbanyak umat Nabi Muhammad SAW
6.    Memperkuat tali silahturahmi di antara anggota masyarakat dalam menyambut kedatangan anak yang baru lahir
7.    Sumber jaminan sosial dan menghapus kemiskinan di masyarakat
8.    Melepaskan bayi dari godaan setan dalam urusan dunia dan akhirat.

Syarat Aqiqah

Hewan dari jenis kibsy (domba putih) nan sehat umur minimal setengah tahun dan kambing jawa minimal satu tahun. Untuk anak laki-laki dua ekor, dan untuk anak perempuan satu ekor.

Hewan yang dibolehkan disembelih untuk Aqiqah adalah sama seperti hewan yang dibolehkan disembelih untuk kurban, dari sisi usia dan kriteria.

Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk (sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam Aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi'iy berkata: Dan harus dihindari dalam hewan Aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.

Ibnu Abdul Barr berkata: Para ulama telah ijma bahwa di dalam Aqiqah ini tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah, (harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta), kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap.

Namun di dalam Aqiqah tidak diperbolehkan berserikat (patungan, urunan) sebagaimana dalam udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta. Sehingga bila seseorang Aqiqah dengan sapi atau unta, itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.

Kadar Jumlah Hewan

Kadar Aqiqah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas rahimahulloh: “Sesungguh-nya nabi  mengAqiqahi Hasan dan Husain satu domba satu domba.” (Hadis shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud). Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama adalah mengAqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadis-hadis berikut ini:
1.    Ummu Kurz Al Ka’biyyah berkata, yang artinya: “Nabi  memerintahkan agar dsembelihkan Aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.” (Hadis sanadnya shahih riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan).
2.    Dari Aisyah Radhiallaahu anha berkata, yang artinya: “Nabi  memerintahkan mereka agar disembelihkan Aqiqah dari anak laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.” (Shahih riwayat At Tirmidzi).

Dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki adalah berlipat dari dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki adalah dua kali lipat wanita dalam banyak hal.

Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan Aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi ', yang artinya: “Setiap anak itu tergadai dengan hewan Aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi).

dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadis Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi ', dia berkata yang artinya: “Hewan Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, keempatbelas, dan keduapuluhsatu.” (Hadis hasan riwayat Al Baihaqi).

Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunah dan paling utama bukan wajib, dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.

Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk disembelihkan Aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya.

Aqiqah adalah syari’at yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan Aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih Aqiqah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata: "...dan bila tidak diAqiqahi oleh ayahnya kemudian dia mengAqiqahi dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa."

Pembagian Daging Aqiqah

Adapun dagingnya maka dia (orang tua anak) bisa memakannya, menghadiahkan sebagian dagingnya, dan mensedekahkan sebagian lagi. Syaikh Utsaimin berkata: "...dan tidak apa-apa dia mensedekahkan darinya dan mengumpulkan kerabat dan tetangga untuk menyantap makanan dari kambing Aqiqah yang sudah matang. Syaikh Jibrin berkata: Sunahnya dia memakan sepertiganya, menghadiahkan sepertiganya kepada sahabat-sahabatnya, dan mensedekahkan sepertiga lagi kepada kaum muslimin, dan boleh mengundang teman-teman dan kerabat untuk menyantapnya, atau boleh juga dia mensedekahkan semuanya. Syaikh Ibnu Bazz berkata: "...dan engkau bebas memilih antara mensedekahkan seluruhnya atau sebagiannya dan memasaknya kemudian mengundang orang yang engkau lihat pantas diundang dari kalangan kerabat, tetangga, teman-teman seiman dan sebagian orang faqir untuk menyantapnya, dan hal serupa dikatakan oleh Ulama-ulama yang terhimpun di dalam Al lajnah Ad Daimah.".

Referensi
1.        Tarbiyatul Awlid, DR. Abdullah Nashih Ulwan.
2.        Subulussalam, jilid 4, hal. 189, 190, dan 194.
3.        Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah, jilid 3, hal. 33-35, dan 39-40.
4.        Mukhtashar Al Fiqhil Islamiyy, hal. 600
5.        Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim, hal. 46-47
6.        Al Muntaqaa, jilid 5, hal. 195-196
7.        Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy, jilid 1, hal. 318
8.        Fatawa Islamiyyah, jilid 2, hal. 324-327
9.        Irwaul Ghalil, jilid 4, hal. 389 dan 405)
10.    Minhajul Muslim, Abu Bakar Al Jazairiy, hal. 437


SEMOGA BERMANFAAT



[1] Samurah bin Jundub, nabi  bersabda,
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (Hadits riwayat Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani)

[2]Berdasarkan anjuran rasulullah  dan praktik langsung dia. “Bersama anak laki-laki ada Aqiqah, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (maksudnya cukur rambutnya).” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan). Rasulallah , yang artinya: “Maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan). Perkataan dia, yang artinya: “Ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunah.

[3]Kemudian Ibnul Qoyim menyebutkan tafsir hadits Samurah bin Jundub di atas, "Tergadai artinya tertahan, baik karena perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain… dan Allah jadikan aqiqah untuk anak sebagai sebab untuk melepaskan kekangan dari setan, yang selalu mengiringi bayi sejak lahir ke dunia, dan menusuk bagian pinggang dengan jarinya. Sehingga aqiqah menjadi tebusan untuk membebaskan bayi dari jerat setan, yang menghalanginya untuk melakukan kebaikan bai akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya." (Tuhfah al-Maudud, hlm. 74). Hadis shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.

[4] Hadis shahih riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah.

Kamis, 09 April 2015

APLIKASI REKAP SISWA BERDASARKAN KELAS, JENIS KELAMIN DAN USIA

Tugas TU terkadang menyita waktu ketika hendak merekap jumlah siswa berdasarkan kelas, jenis kelamin dan usia. Aplikasi ini dapat mempermudah pekerjaan tersebut jika berminat silahkan klik disini