Rabu, 25 Maret 2015

APLIKASI BP_BK

Salah satu kegiatan di madrasah/sekolah adalah mencatat kejadian-kejadian penting untuk dikomunikasikan dengan orangtua/wali siswa, berikut adalah contoh aplikasi BP_BK silahkan didownload disini

Senin, 23 Maret 2015

MENAHAN MARAH, MEMAAFKAN, DAN BERBUAT BAIK ADALAH NILAI DASAR KETAQWAAN


اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد .
الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ فَرَضَ عَلىَ اْلمُؤْمِنِيْنَ صِيَامَ رَمَضَانَ, وَوَفَّقَنَا فِيْهِ إلىَ الْأعْمَالِ الصَّالِحَاتِ الَّتِيْ سَنَّهَا رَسُوْلُهُ اْلكَرِيْمُ الْأمِيْنُ. أشْهَدُ أن لاإلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقّ الْمُبِيْنِ. وأشْهًدُ أنَّ سَيّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ أرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ. اللّهُمَّ صَلّ وَسَلّمْ عَلىَ هَذَا النَّبِيّ الْكَرِيْمِ سَيّدِنَامُحَمَّدٍ أشْرَفِ اْلأنْبِيَاءِ وَاْلمُرْسَلِيْنَ وَعَلىَ آلِهِ وَأصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ أجْمَعِيْنَ. أمّابَعْدُ : فَيَا أيُّهَا اْلحَاضِرُوْنَ ! اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَاتَمُوْتُنَّ إلِاّ وَأنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَبَادِرُوْا بِاْلأعْمَالِ الصَّالِحَاتِ يَرْحَمُكُمُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَيُدْخِلُكُمْ جَنّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأنْهَارُ وَذَالِكَ الْفَوْزُالْعَظِيْمُ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ أعوذ با الله من الشيطان الرجيم :
يَاأيُّهاَ اللّذِيْنَ اَمَنُوْا اتّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْماً
Hadirin Kaum Muslimin dan  Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Sejak tadi malam telah berkumandang alunan suara TAKBIR, TASBIH, TAHMID dan TAHLIL sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan. Saat ini kita semua berada dihari yang agung hari kemenangan memperoleh kesucian lahir dan batin, sekarang kita berkumpul duduk bersimpuh mengagungkan asma Allah SWT, menyatakan dan mengakui kebesaran-Nya. Hari ini Allah telah menyempurnakan agamamu dan mencukupkan nikmatmu serta meridoi Islam sebagai agamamu. Allah Maha Pengampun dan Penyayang bagi orang yang berbuat dosa karena lapar tanpa disengaja.

الْيَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإسْلاَمَ دِيْنًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لّإِثْمٍ فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. (المائدة : 3)
               

Baginda Rasul SAW. telah menjanjikan bahwa orang-orang yang di siang hari bulan Ramadhan berpuasa, dan melaksanakan shalat di malam harinya dengan dasar iman dan mengharap keridoan Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya, dia menjadi bersih dan suci laksana bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya.
 من صامه وقامه إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه

Oleh karena itu, kalau kita mampu mempertahankan kondisi fitrah yang kita peroleh setelah berpuasa di bulan Ramadhan, pada saat kita dipanggil menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, dengan kesalahan-kesalahan yang sudah terampunkan, kitapun akan sama seperti bayi yang memperoleh keridhaan dan surga Allah SWT. Maka, alangkah gembira dan bahagianya orang-orang yang memperoleh derajat seperti ini, sebagaimana dikatakan Rasululullah SAW. bahwa bagi mereka orang yang berpuasa ada dua kegembiraan; yaitu kegembiraan ketika idul fitri dan kegembiraan ketika bertemu dengan Allah di akhirat nanti yang ketika itu orang-orang yang berpuasa termasuk golongan yang diistimewakan.
للِصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبّهِ .

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Ketika kita mendengar takbir dikumandangkan, tahlil, tahmid dan tasbih serta puji-pujian kepada Allah dilantunkan, ada rasa haru dan penyesalan yang muncul di hati khususnya mereka yang telah ditinggal oleh kedua orangtuanya, sanak saudara atau orang-orang yang dicintainya. Terbayang ketika mereka masih hidup, biasanya kita datang dan duduk bersimpuh di pangkuan ayah dan bunda seraya menyampaikan permohonan ampun serta maaf atas kesalahan dan kekhilafan kita sebagai anak yang terkadang berbuat dan berkata melukai hati mereka. Kita mengucapkan terima kasih atas pengorbanan yang mereka berikan kepada kita tanpa mengharap balas jasa. Sulit untuk kita lupakan perjuangan berat mereka, menyayangi dan mendidik kita sepanjang hidup mereka, terlalu besar pengorbanan mereka untuk kita abaikan. Oleh karenanya, di hari yang fitri ini sudah seharusnya kita memanjatkan do’a kepada Allah SWT. untuk mereka.
اللّهُمَّ اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِوَا لِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا
Ya Allah ya Rabbana, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa kedua orangtua kami. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami diwaktu kecil.

Selain itu, di hari yang fitri ini kita juga biasanya saling berkunjung dan bersalam-salaman dengan sanak saudara, handai tolan, tetangga, teman-teman dan rekan-rekan kita untuk saling memaafkan kesalahan dan melupakan segala ganjalan yang kemungkinan ada dalam hati. Kita rajut kembali tali persaudaraan yang pernah kusut diantara kita, kita bangun kembali keharmonisan yang pernah terusik diantara kita; kita pertebal kembali rasa kebersamaan yang pernah luntur diantara kita dengan mempererat Silaturrahim.
Silaturrahim bukan sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf semata. Tetapi ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati sesuai dengan asal kata dari silaturrahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan menjadi bersatu dan utuh kembali.
Apabila ada orang yang tidak pernah bersilaturrahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walaupun harus menempuh jarak yang sangat jauh dan melelahkan, memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, baik waktu, tenaga dan materi, apalagi kalau kita bersilaturrahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka inilah yang disebut silaturrahim yang sebenarnya.
Hidup kita tidak akan tenang kalau silaturrahim terputus, karena dengan terputusnya silaturrahim, di dalam hati seseorang akan tersimpan kebenciaan dan permusuhan. Apabila dalam suatu lingkungan masyarakat ada beberapa orang yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, di belakang sudah saling menohok, saling menggunjing, saling menjelek-jelekkan, saling jegal, dan memfitnah, maka rahmat Allah akan jauh dari kehidupan mereka. Silaturrahim adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubung dan terpeliharanya silaturrahim, maka tali persaudaraan akan terjalin dengan baik.

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Memaafkan orang lain yang telah berbuat sewenang-wenang terhadap kita merupakan suatu sikap yang paling mulia. Sikap ini tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang bersih hatinya, ia lebih menyukai kebaikan daripada membalas kejahatan orang lain dan akan lebih baik lagi jika berbuat baik kepadanya setelah terlebih dahulu memaafkan kesalahannya. Allah SWT berfirman:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَاعُوْقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ للّصَّابِرِيْنَ.
  
dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.(QS.An Nahl:126).
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَالِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُوْرِ

tetapi orang yang bersabar dan mema'afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan.(QS. Asy Syura:43).
مَاعِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ وَلَنَجْزِيَنَّ الّذِيْنَ صَبَرُوْا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوْا يَعْمَلُوْنَ.

apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An Nahl:96).

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Sikap menahan amarah dan kebencian mempunyai posisi yang sangat penting. Menahan amarah dan kebencian akan menjadikan seseorang sanggup menahan diri untuk tidak melakukan tindakan tercela dalam bentuk apapun. Menahan marah saja tanpa memaafkan bukan ciri orang taqwa, tetapi ciri orang pendendam. Sikap menahan amarah dan kebencian merupakan salah satu karakter orang bertakwa, yang dijanjikan Allah SWT sebagai penghuni surga. Ini berarti bahwa ketakwaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menahan amarah dan kebencian yang dapat merugikan orang lain. Orang yang mampu menahan amarah dan kebencian berarti ia telah mampu meleburkan dirinya ke dalam diri orang lain dan membuang jauh-jauh sifat egoisnya. Sejenak orang merasa lega setelah meluapkan amarah dan kebenciannya seperti halnya penderita sakit kepala yang minum obat analgesik, bodrek, paramex dll marah hanya dapat disembuhkan dengan memaafkan.  Kita tidak cukup suci untuk mencintai musuh-musuh kita. Tapi, demi kesehatan dan kebahagiaan kita, lupakan dan maafkan mereka.
Memang manusia tidak akan terlepas dari rasa marah, rasa benci, rasa sombong, rasa dendam, rasa ingin dihormati dan dihargai. Walaupun demikian, bukan berarti kita harus sakit hati dan dendam setiap kali ada yang menyakiti, ada yang mengusik harga diri dan kehormatan. Malah sebaliknya, jika kita didzalimi, maka do'akanlah orang-orang yang mendzalimi itu agar bertaubat dan menjadi orang shaleh.
Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menyikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi.

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ

Hadirin Kaum Muslimin, Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Nikmat Allah yang paling besar bagi manusia setelah iman dan Islam adalah nikmat dikaruniainya maaf atau ampunan. Nikmat ini senantiasa diberikan Allah kepada setiap manusia, meski manusia terus menerus melakukan perbuatan dosa. Namun tentunya dengan sebuah catatan, bahwa manusia yang diberikan nikmat ini hanya manusia yang senantiasa menyadari setiap perbuatan dosanya, dan utuk itu dia memohon maaf kepada Allah SWT. Oleh karena itu Allah kemudian memberi gelar diriNya Al-Afwu, Yang Maha Pemaaf. Firman Allah :
إِنْ تُبْدُوْا خَيْرًا اَوْتُخْفُوْهُ اَوْتَعْفُوْا عَنْ سُوْءٍ فَإِنَّ اللهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيْرًا.
  
Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa.(QS. An Nisa:149)
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ.

Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(QS. Al A’raaf:199).

Memaafkan tidaklah mudah, memaafkan harus dilatih terus menerus. Sifat pemaaf tumbuh karena kedewasaan ruhani. Ia merupakan hasil perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan diantara dua kekuatan, pengecut dan pemberani.  Sifat pemaaf menghiasi akhlak para nabi dan orang-orang shaleh. Ruhani mereka telah dipenuhi sifat Allah Yang Maha Pengampun. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang tulus kepada orang lain. Karena itu untuk bisa memaafkan, kita harus memusatkan perhatian kita kepada orang lain. Kita harus beralih dari pusat ego kepada posisi orang lain dari egoisme kepada berbuat baik. Nabi Muhammad SAW. sangat terkenal sebagai pemaaf; Beliau menyerahkan sorbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi, yang telah membunuh pamanda tercinta, Hamzah.
Tidak jarang meminta maaf lebih sulit daripada mema’afkan. Bagi sebagian orang, meminta ma’af dianggap sebuah perbuatan yang merendahkan harga dirinya. Tidak menyadari, bahwa meminta ma’af adalah usaha penghapusan kesalahan pada manusia dan pengampunan dosa pada Yang Maha Kuasa. Tentu kita tidak ingin menjadi hamba yang dijauhi manusia karena sifat kita yang kikir dalam mema’afkan dan jauh dari Allah karena tidak meminta ma’af atas kesalahan. Menahan marah, memaafkan, dan berbuat baik harus dilakukan sekaligus. Allah SWT berfirman:
وَالّذِيْنَ إِذَا فَعَلُوْا فَاحِسَةً اَوْظَلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوْا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذّنُوْبَ إِلاّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّ عَلَى مَافَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ.
  
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(QS. Ali Imran:135).

Di akhir khutbah ini, Khatib mengajak untuk merenungkan nasihat Rasulullah SAW. kepada Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi sebagai berikut :

يَاأبَاهُرَيْرَةَ عَلَيْكَ بِحُسْنِ اْلخُلُقِ. قَالَ أبُوْهُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَمَاحُسْنُ اْلخُلُقِ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: تَصِلُ مَنْ قَطَعَكَ ، وَتَعْفُوْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ ، وَتَعْطِيْ مَنْ حَرَمَكَ .
Wahai Abu Hurairah, Engkau harus berakhlaq mulia ! Abu Hurairah bertanya, apakah yang dimaksud dengan akhlaq mulia itu wahai Rasul ? Nabipun menjawab: Engkau hubungkan silaturrahim dengan orang yang memutuskannya dari padamu, engkau ma’afkan orang yang berbuat zalim kepadamu, dan engkau beri sesuatu orang yang mengharamkanmu.

Semoga ibadah kita diterima oleh Allah Rabbul ‘Alamin dan menjadi momentum bagi kita semua untuk bercermin diri, bermuhasabah atas perilaku kita terhadap saudara-saudara kita selama ini. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa terbuka hatinya untuk menjalin, memelihara dan mempererat tali silaturrahim, demi terwujudnya umat yang bersatu padu di bawah naungan rahmat dan maghfirah Allah SWT. Ya Allah, baguskanlah perangai dan tingkah laku kami; Jauhkanlah kami dari perangai dan tingkah laku yang tercela. Amien ya Rabbal ‘Alamin.
إنَّ أحْسَنَ اْلكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدِى اْلمُهْتَدُوْنَ أعوذ بالله من الشيطان الرّجيم: وَسَارِعُوْا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّموَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ للِمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِ وَاللهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ ، أقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأسْتَغْفِرُاللهَ اْلعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَا ئِرِالْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ ، إنَّهُ هُوَالتَوَّابُ الرَّحِيْمُ.

خطبة الثانية

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأصِيْلاً لاَ إلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَعَبْدَهُ وَأعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأحْجَابَ وَحْدَهُ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ.
الحَمْدُ لِلهِ رَبّ اْلعَالَمِيْنَ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيّباً مُبَارَكاً فِيْهِ، حَمْدًا يُوَافِي نِعَامَهُ وَيُكاَ فِئُ مَزِيْدَهُ، يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَلَكَ الشُّكْرُكَمَايَنْبَغِيْ لِجَلاَلِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ،  أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأشْهَدُ أنّ سَيّدَنَا مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اللّهُمَّ صَلّ وَسَلّمْ عَلىَ رَسُوْلِهِ الْكَرِيْمِ سَيّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ وَأصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ أجْمَعِيْنَ. أمَّابَعْدُ: فَيَا عِبَادَاللهِ ، أوْصِيْنِيْ وَإيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ بِامْتِثَالِ أوَامِرِاللهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ .

قال الله تعالى في القرآن الكريم ، أعوذ بالله من الشّيطان الرّجيم: إنّ اللهَ وَمَلائكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيّ ، ياأيّها الّذِيْنَ آمَنُوْا صَلّوْا عَلَيْهِ وَسَلّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللّهُمَّ صَلّ وَسَلّمْ وَبَاِركْ عَلىَ سَيّدِنَامُحَمّدٍ، وَعَلىَ آلِ سَيّدِنَامُحَمّدٍ، كَمَا صَلّيْتَ وَسَلّمْتَ وَبَارَكْتَ عَلىَ إبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ آلِ إبْرَاهِيْمَ فِي اْلعَالَمِيْنَ إنَّكَ حَمِيْدٌ مَزِيْدٌ. وَرَضِيَ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أرْبَعَةِ الْخُلفَاءِ الرّاشِدِيْنَ أبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيْ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَقَرَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أجْمَعِيْنَ وَعَلَيْنَا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَاأرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللّهمّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والمؤمنين والمؤمنات الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأمْواَتِ إنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ يَاقَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اللّهُمَّ أنْتَ رَبَّنَا لاَ إلهَ إلاَّ أنْتَ خَلَقْتَنَا وَنَحْنُ عِبَادُكَ وَنَحْنُ عَلىَ عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَااسْتَطَعْنَا نَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرّمَاصَنَعْنَا نَبُؤٌ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيْنَا وَنَبُؤٌ بِذُنُوْبِنَا فَاغْفِرْلَنَا فَإنَّهُ لاَيَغْفِرُالذُّنُوْبَ إلَّاأنْتَ. رَبَّنَااغْفِرْلَنَاذُنُوْبَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا. رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِإخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إنَّكَ رَؤُفٌ رَّحِيْمُ. اللَّهُمَّ ألّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَقُلُوْبِ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَثَبّتْ أقْدَامَنَا عَلىَ دِيْنِكَ وَعَلىَ طَاعَتِكَ سُبْحَانَكَ إنَّاكُنَّا مِنَ الظَّالِمِيْنَ. اللّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ يَفْعَلُوْنَ مَاأمَرْتَنَا بِهِ أنْ يُوْصِلَ مِنَ الْآرْحَامِ وَمِنَ الّذِيْنَ أصْلَحُوْا بَيْنَ أخَوَاتِهِمُ الْمُؤْمِنِيْنَ.
Ya Allah…. ! kami mohon ampun kepada-Mu, Dihadapan kami ada orang yang didzalimi, tapi kami tidak menolongnya; Kepada kami ada orang yang berbuat baik, tapi kami tidak berterima kasih kepadanya; Orang bersalah meminta ma’af kepada kami, kami tidak mema’afkannya. Ya Allah…! ada orang susah memohon bantuan kepada kami, kami tidak menghiraukannya, ada orang yang kami sakiti dan kami bersalah kepadanya, tapi kami tidak pernah meminta ma’af; Ada hak orang mukmin dan muslim dalam diri dan harta kami, kami tidak memenuhinya. Ya Allah…! di depan kami ada ‘aib orang muslim, kami tidak menutupinya; Dihadapkan kepada kami dosa, kami tidak menghindarinya. 
Ya Allah…! dengan sebab idul fitri ampunilah kesalahan yang kami lakukan kepada kedua orangtua kami, kebaikan yang mereka berikan terkadang kami balas dengan cercaan dan celaan sampai mereka meneteskan air mata, perkataan dan perbuatan kami terkadang membuat mereka bagikan pembantu. Ya Allah…! kami sering menyakiti kedua orangtua dengan menciptakan permusuhan dan kebencian diantara saudara-saudara kami, kami kurang berterima kasih atas pemberian orangtua bahkan kami terkadang menyia-nyiakannya dengan berebut diantara saudara-saudara kami, sampai akhir hidup mereka kami tidak pernah bersimpuh memohon ridlo mereka.
Ya Allah…! limpahkanlah kasih sayang dan kecintaan dalam hati kami agar dapat menciptakan kedamaian dan ketentraman di lingkungan kami. Ya Allah… jadikanlah kami orang-orang yang selalu bersilaturrohim, dan meminta maaf serta memaafkan kesalahan orang lain, jadikanlah kami orang yang selalu berbuat baik terhadap semua manusia, hilangkan rasa benci, rasa marah, rasa dendam, dan sombong dari hati kami. Ya Allah… kami adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya apa-apa di hadapan-Mu tetapi kami selalu menampakkan kesombongan dan senang berbuat jahat hanya karena dorongan hawa nafsu yang hina dalam hati kami. Ya Allah…! hanya dengan rahmat-Mu kami dapat selamat dari siksa-Mu dan masuk kedalam surga-Mu.

ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته .


Sabtu, 21 Maret 2015

Pengertian, Ukuran dan Hukum Zakat Fitrah dengan uang


A.      Pengertian dan Hukumnya

Zakat fitrah disyariatkan pada tahun kedua Hijriah bulan Sya’ban. Sejak saat itu zakat fitrah menjadi pengeluaran wajib yang dilakukan setiap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah karena telah menyelesaikan ibadah puasa. Selain untuk membahagiakan hati fakir miskin pada hari raya Idul Fitri, juga dimaksudkan untuk membersihkan dosa-dosa kecil yang mungkin ada ketika seseorang melaksanakan puasa Ramadan, supaya orang tersebut benar-benar kembali pada keadaan fitrah dan suci seperti ketika dilahirkan dari rahim ibunya.
Para ulama bersepakat bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap individu berdasarkan hadis Ibnu Umar ra yang berkata, “Rasulullah saw mewajibkan zakat fitrah bulan Ramadan sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas setiap muslim merdeka atau hamba sahaya laki-laki atau perempuan” (HR. Bukhari Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, zakat fitrah diwajibkan kepada setiap muslim, baik merdeka maupun budak, laki-laki, perempuan, besar (baligh), kecil (belum baligh), kaya, dan miskin. Seorang laki-laki mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Seorang istri mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya atau oleh suaminya. Bayi yang masih dalam kandungan belum terkena wajib zakat fitrah. Tetapi kalau ada seorang bayi lahir sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadan, maka zakat fitrahnya wajib ditunaikan. Demikian juga kalau ada orang meninggal dunia setelah matahari terbenam pada hari terakhir di bulan Ramadan, zakat fitrahnya wajib pula dibayarkan.

B.       Kadar Zakat Fitrah

Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama lain sepakat bahwa zakat fitrah ditunaikan sebanyak satu sha’ (di Indonesia, berat satu sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg) kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Imam Hanafi memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Namun, ukuran satu sha’ menurut mazhab Hanafiyyah lebih tinggi daripada pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. Menyikapi perbedaan pendapat tentang kadar zakat fitrah, ada pandangan yang berusaha mengkombinasikan seluruh pendapat. Jadi, sekiranya bermaksud membayar zakat fitrah dengan beras, sebaiknya mengikuti pendapat yang mengatakan 2,5 kg beras. Tetapi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi kehati-hatian dalam menjalankan ibadah zakat.

C.      Ukuran Mud dan Sha’
 
Dalam beberapa hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seringkali muncul nilai suatu ukuran atau takaran seperti mud dan sha' sebagaimana dua hadits berikut:
1.         Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud dan mandi dengan satu sha' hingga lima mud" (HR. Al Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325).
2.         Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullah mewajibkan zakat fithri dengan satu sha' kurma atau satu sha' gandum, baik atas budak, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, maupun dewasa dari kalangan kaum muslimin" (HR. Al Bukhari II/161, Muslim II/677-678, Abu Dawud no. 1611-1613, Ibnu Majah no. 1826, an Nasai V/48).

Maka dari itu, perlu kiranya kaum muslimin mengetahui ukuran-ukuran tersebut kemudian menyesuaikan dengan ukuran yang biasa dikenal, khususnya di Indonesia demi mendekatkan diri kepada sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

3.         Berkata al Jauhari: "Al Mud dengan didhamah yaitu takaran yang beratnya 1 1/3 rithl menurut ahli Hijaz dan Imam Syafi'i serta 2 rithl menurut ahli Iraq dan Imam Abu Hanifah, serta 1 sha' sama dengan 4 mud" (Lisaanul Arab 3/400).
4.         Ibnu Manzhur rahimahullah mengatakan: "Dan mud itu merupakan bentuk dari takaran yaitu 1/4 sha', itulah kadar mud-nya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jamaknya adalah amdaad, midad dan midaad" (Majalah an Nashihah Vol 11 tahun 1427 H, hal. 37). Dengan demikian 1 sha' adalah 4 mud.
5.         Al Fayyumi rahimahullah berkata, "Para fuqaha berkata, 'Jika dimutlakkan istilah rithl dalam masalah furu' maka yang dimaksud adalah rithl Baghdadi'" (al Misbahul Munir hal. 230).
6.         Dr. Muhammad al Kharuf mengatakan, "Sekalipun terjadi perbedaan pendapat maka ukuran rithl Baghdadi sama dengan 408 gram" (al Idhah wa Tibyan, tahqiq oleh Dr. al Kharuf, hal. 56).
Dengan demikian jika mengikuti pendapat tersebut, maka 1 mud dalam gram kurang lebih adalah 544 gram (dari 1 1/3 dikali 408) dan satu sha' kurang lebih adalah 2176 gram (dari 544 dikali 4) atau 2,176 kilogram.
7.         Hai'ah Kibar Ulama di Saudi Arabia telah membahas ukuran sha' dengan kilogram, yang mana pembahasan itu berdasarkan ukuran sha' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu sama dengan 4 mud dan 1 mud sama dengan sepenuh dua telapak tangan orang laki-laki sedang. Namun demikian fatwa yang bersumber dari Lajnah ad Da'imah nomor 12572 menetapkan bahwa 1 sha' Nabawi adalah ±3 kg. (Majmu' Fatawa Lajnah Da'imah juz 9, hal. 371). Wallahu a'lam.
8.         Syaikh al Utsaimin berpendapat bahwa 1 sha' diperkirakan setara dengan 2,04 kg jika dihitung dengan gandum berkualitas baik (al Fiqhul Islami wa Adillatuh, juz. I, hal. 142-143).
Jika dikonversikan dalam bentuk liter (bukan rithl!) maka menurut madzhab Syafi'i 1 sha' adalah 2,75 liter (Majalah an Nashihah vol. 11 tahun 1427 H, hal. 38), artinya 1 mud adalah 0,6875 liter atau 687,5 mililiter. Sebagai perbandingan, botol minum air mineral merek aqua yang berukuran sedang berisi 600 mililiter air. Jadi kalau Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu dengan menggunakan ukuran 1 mud air berdasarkan hadits Anas bin Malik di atas, maka dapat dibayangkan betapa hematnya beliau menggunakan air untuk berwudhu.
9.         Menurut Beberapa Ulama Mazhab Fiqh, 1 sha' sama dengan 4 mud, dan 1 mud sama dengan 675 gram.  Jadi 1 sha’ sama dengan 2700 gram (2,7 kg). Demikian menurut madzhab Maliki. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, tt, Juz II, hal. 910).
10.     Menurut al-Rafi’i, madzhab Syafi’i dan madzhab Hambali, 1 sha’ sama dengan 693 1/3 dirham (lihat Al-Syarqawi, Juz I, hal. 371. Lihat juga Al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr, Juz I, hal. 295). Jika dikonversi 1 sha’ sama dengan 2751 gram (2,751 kg) (lihat Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiq al Islami Wa Adilatuhu, Dar al-Fikr, Juz II hal. 911).
11.     Dalam al Qamus, mud adalah takaran, yaitu 2 rithl (menurut pendapat Abu Hanifah) atau 1 1/3 rithl (menurut madzhab jumhur) atau sebanyak isi telapak tangan sedang, jika mengisi keduanya, lalu membentangkannya, oleh karena itu dinamailah mud (lihat Subulus Salam, hal. 111).  Di dalam cetakan Darus Sunnah Press tertulis liter bukan rithl, dan yang masyhur adalah ucapan rithl, insya Allah ini yang benar, wallahu a'lam.
12.     Para Ulama Indonesia juga banyak berbeda pendapat tentang satu sha' seperti Kyai Maksum-Kwaron Jombang menyatakan 1 sha’ = 3,145 liter, atau 14,65 cm3 atau sekitar 2751 gram (2,751 kg).
Pada umumnya di Indonesia, berat 1 sha’ dibakukan menjadi 2,5 kg. Pembakuan 2,5 kg ini barangkali untuk mencari angka tengah-tengah antara pendapat yang menyatakan 1 sha’ adalah 2,751 kg, dengan 1 sha’ sama dengan di bawah 2,5 kg. Sebab menurut kitab al-Fiqh al-Manhaj, Juz I, hal 548, 1 sha’ adalah 2,4 kg (Kebanyakan berpegang pada pendapat ini). Ada juga yang berpendapat 1 sha’ adalah 2176 gram (2,176 kg).
13.     Di dalam kitab al Syarqawi, juz I hal. 371, Al-Nawawi menyatakan 1 sha’ sama dengan 683 5/7 dirham. Jika dikonversi dalam satuan gram, hasilnya tidak jauh dari 2176 gram. Baca juga Idrus Ali, Fiqih Kontekstual; Khulasah Istilah-istilah Kitab Kuning, Kuliah Syari’ah PP. Sidogiri, 1423 H, hal. 20-21.
14.     Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1 mud adalah ukuran isi sama dengan 5/6 liter (lihat kamus Umi Chulsum dan Windy Novia, hal. 469). Sedangkan 1 kati (rithl) adalah ukuran beratnya sama dengan 6,25 ons (lihat kamus Umi Chulsum dan Windy Novia, hal. 348).
15.     Dalam Kamus Al Munawwir mud adalah takaran ±6 ons (lihat al Munawwir. hal. 1318). Sedangkan 1 rithl/pound adalah takaran ±2564 gram = ±8 ons (lihat al Munawwir hal. 507).
Jika dilihat keterangan dalam kitab I’anatuth Thalibin Juz 2 hal. 172, kitab Fathul Wahhab Juz 1 hal. 114, kitab Al Iqna Juz 1 hal. 198, kitab al Muhadzdzab Juz 1 hal. 165, dan kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal. 385) rata-rata menyatakan bahwa 1 sha’ adalah 4 mud, 1 mud adalah 1 1/3 rithl. Jadi 1 sha’ = 5 1/3 rithl.
Dengan demikian menurut kamus Bahasa Indonesia 1 sha’ = 4 mud x 5/6 liter = 3,333 liter. Atau 6,25 ons x 5 1/3 rithl = ±33 ons = ±3,3 kg.
Sedangkan menurut kamus al Munawwir 1 sha’ = 4 mud x ±6 ons = ±24 ons = ±2,4 kg. Atau ±8 ons x 5 1/3 rithl­ = 42,67 ons = 4,267 kg.
16.     Imam Hanafi ukuran 1 sha’ menurut madzhab ini lebih tinggi dari pendapat para ulama yang lain, yakni 3,8 kg. 1 sha menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad adalah 8 rithl ukuran Irak. 1 rithl Irak sama dengan 130 dirham atau sama dengan 3800 gram (3,8 kg). (lihat kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah Zuhailli Juz II, hal. 909).
Imam Hanafi juga memperbolehkan membayar ZAKAT FITRAH dengan UANG senilai bahan makanan pokok yang wajib dibayarkan. Diantara kelompok Hanafiyah adalah Imam Abu Yusuf menyatakan: Saya lebih senang berzakat fitrah dengan uang daripada dengan bahan makanan, karena yang demikian itu lebih tepat mengenai kebutuhan miskin. (Lihat Dr. Ahmad al-Syarbashi, Yasa’ alunaka fi al-Dini wa al-Hayat, Beirut: Dar al Jail, cet. ke-3, 1980, Juz II, hal. 174).
17.     Mahmud Syaltut di dalam kitab Fatawa-nya menyatakan : Yang saya anggap baik dan saya laksanakan adalah, bila saya berada di desa, saya keluarkan bahan makanan seperti kurma, kismis, gandum, dan sebagainya. Tapi jika saya di kota, maka saya keluarkan uang (harganya). (Baca Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Kairo: Dar al-Qalam, cet. ke-3, 1966, hal. 120). Beliau memperbolehkan membayar zakat fitrah dengan UANG, dan di dalam bukunya tersebut memang tidak dijelaskan berapa ukuran sha’ menurutnya. Namun sebagai tokoh Hanafiyyah, mereka kemungkinan kecil untuk memakai ukuran madzhab lain (selain Hanafi).

Alhasil, apa yang terjadi di masyarakat, memang tidak lepas dari masalah khilafiyyah (perbedaan pendapat) yang sebenarnya sudah terakomodir oleh ulama madzhab. Menurut Imam Ghazali, wajib bagi orang awam untuk taqlid (mengikuti) salah satu madzhab. (Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, hal. 371.)

KESIMPULANNYA:
Zakat fitrah dengan 2,5 kg sesuai keterangan di atas hukumnya sah (Karena ada pendapat yang mengatakan 1 sha' = 2,176 kg) dan jika ingin mengeluarkan sebesar 2,751 kg hukumnya afdhal (semakin afdhal tentu lebih baik).
Namun untuk lebih berhati-hati yaitu dengan mengambil pendapat dari Imam Syafi'i, menurut keterangan di atas, 1 sha' adalah 2,751 kg dapat dibulatkan menjadi 3 kg karena lebih mudah dalam pembeliannya. Tetapi sekali lagi seandainya bermaksud membayar zakat fitrah dengan menggunakan UANG, gunakanlah patokan 3,8 kg beras. Langkah seperti ini diambil demi kehati-hatian dalam menjalankan ibadah zakat.
Semoga Allah memberikan barokah atas kelebihan tersebut dan memberikan barokah dan ridho-Nya kepada kita agar selamat di dunia dan akhirat. Amiiiin…. (Wallahu A’lam Bishshowab).


D.      Waktu Pembayaran Zakat Fitrah

Waktu wajib membayar zakat fitrah pada asalnya adalah sewaktu matahari terbenam pada malam hari raya Idul Fitri. Tetapi tidak ada larangan apabila membayarnya sebelum waktu tersebut, asalkan masih dalam hitungan bulan Ramadan.




Dikalangan masyarakat saat ini, pada saat pembayaran zakat fithrah diakhir Ramadhan, banyak yang membayarnya dengan uang dengan harga beras yang mereka makan sehari-hari. Hal ini didukung oleh beberapa pihak yang mengeluarkan fatwa demikian. Namun sebagian kalangan tetap mempertahankan zakat fitrah dengan beras.

Pertanyaan:
Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum fiqh tentang membayar zakat fithrah dengan uang?

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan dalam kasus di atas ada baiknya kita melihat dulu bagaimana jenis zakat fithrah yang dikeluarkan berdasarkan 4 mazhab yang mu`tabar.

Beberapa pendapat ulama mazhab sebagai landasan untuk menjadi pegangan tentang jenis-jenis harta yang dikeluarkan untuk zakat fitrah:
1.        Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah[1], berpendapat bahwa jenis-jenis makanan yang dikeluarkan    dalam zakat fitrah adalah hinthah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma), zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah (gandum yang sudah menjadi tepung) dan sawiq (adonan tepung).Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:

اَدّوا قَبْلَ الخُرُوْجِ زَكَاةَ الفِطْرِ فَاِنّ عَلىَ كُلّ مُسْلِمٍ مُدًّا مِنْ قَمْحٍ اَوْ دَقِيْقٍ

Artinya : “tunaikanlah zakat fitrah sebelum kamu keluar untuk sembahyang, maka wajib atas setiap orang merdeka mengeluarkan dua mud gandum dan daqiq (tepung dari gandum)”.

Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga berpendapat boleh pula mengeluarkan zakat fitrah dengan cara menghargakan makanan-makanan yang disebutkan di atas dengan menggunakan uang atau barang-barang yang lain dari apa saja yang dikehendakinya, bahkan beliau berpendapat mengeluarkan uang lebih baik dari pada menggunakan qut (makanan pokok yang dapat disimpan dan tahan lama) dikarenakan uang lebih banyak manfaatnya dan bisa digunakan untuk kebutuhan yang diinginkan fakir miskin, hal ini didasari hadits Rasulullah S.A.W.

اُغْنُوْاهُمْ عَنِ الطّلَبِ فِى هَذَا اْليَوْمِ

Artinya : “Perkayakanlah orang-orang miskin dari meminta-minta pada hari ini”.

Hadits di atas, menganjurkan kita memperkaya orang miskin yaitu memenuhi kebutuhannya, untuk memenuhi kebutuhan para fuqaraa (orang-orang miskin) boleh dengan cara memberi makanan boleh pula dengan memberikan uang atau barang yang lain, bahkan menggunakan uang lebih cocok dalam menunaikan hajat para fuqaraa, dan sipemberi pun lebih mudah dalam menunaikannya. Dan Abu Yusuf berkata : “aku lebih cinta mengeluarkan daqiq dari pada gandum kemudian uang lebih baik dari pada daqiq dan gandum karena uang lebih dominan dalam menunaikan kebutuhan orang-orang fakir”.

Adapun kadar yang dikeluarkan    dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah adalah 1/2 sha’ gandum atau 1 sha’ sya’ir, 1 sha’ kurma, pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sha’labah bin Su’ar al-Uzry:

أدّوا عَنْ كُلّ حُرّ وَعَبْدٍ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرّ, اَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍاَوْمِنْ شَعِيْرٍ

Artinya : “Tunaikanlah dari setiap orang merdeka dan hamba ½ sha’ gandum atau satu sha’ kurma ataupun syair”.

Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebagian berpendapat satu sha’ anggur dan sebagian yang lain berpendapat 1/2 sha’ anggur. 1 sha’ = 8 rithl Irak menurut mazhab Hanafi, 1 rithl ‘Iraqiy 230 Dirham atau 3800 gram karena Nabi Saw berwudhu dengan 1 mud yaitu 2 rithl dan mandi dengan 1 sha’ yaitu 8 rithl.[2]

2.        Mazhab Maliki
Imam Malik[3], berpendapat zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah qut balad (makanan pokok suatu daerah), akan tetapi beliau membatasi qut balad tersebut hanya delapan macam yaitu gandum, syair, sulti, jagung, dakhan, kurma, anggur, dan susu yang sudah kering yang tidak diambil buihnya. tidak boleh mengeluakan makanan selain sembilan macam yang disebutkan di atas seperti ful (kacang-kacangan) dan adas.
Apabila terdapat jelas yang delapan ini atau sebagiannya, maka boleh dipilih salah satunya untuk mengeluarkannya. Dan jika dalam suatu daerah mengkonsumsi dua macam jenis makanan pokok seperti padi dan jagung dan keduanya sama dibutuhkan dalam daerah tersebut maka boleh terhadap muzakki memilih diantara keduanya, kemudian apabila terdapat seluruhnya atau sebagiannya sedangkan yang dijadikan makanan pokok itu lain maka wajib dikeluarkan barang yang dijadikan makanan pokok kecuali makanan tersebut kurang baik ketimbang jenis yang delapan tersebut. Golongan yang bermazhab Maliki berpendapat boleh mengeluarkan daging bila sudah dijadikan makanan pokok. Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malik adalah 1 sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah 4 mud. Yaitu 685 Dirham 5/7 atau 5 1/3 rithl Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil).

3.        Mazhab syafi’.
Imam Syafi’i[4], berpendapat zakat fitrah wajib dikeluarkan dengan menggunakan qut (makanan pokok yang mengenyangkan), akan tetapi golongan yang bermazhab Syafi’i berbeda pendapat tentang qut yang digunakan dalam menunaikan zakat fitrah. Diantara mereka ada yang berpendapat qut yang digunakan adalah qut balad yaitu makanan pokok yang dikonsumsi oleh suatu daerah, sekalipun muzakki (orang yang berzakat) tidak mengkonsumsinya. Sebagian yang lain berpendapat qut yang digunakan adalah qut dirinya yaitu makanan pokok yang ia konsumsi walaupun daerah tersebut mengkonsumsi jenis makanan yang lain. Ada juga yang berpendapat boleh kedua-duanya.
Maka pendapat jumhur, qut yang digunakan adalah qut yang dikonsumsi suatu daerah, dan boleh juga mengeluarkan qut yang tidak ia konsumsi asalkan yang lebih baik, seperti suatu daerah mengkonsumsi beras maka boleh mengeluarkan gandum, dan daerah yang mengkonsumsi anggur boleh mengeluarkan kurma dan lain sebagainya, lebih baik yang dimaksudkan disini adalah banyak dijadikan sebagai qut (makanan pokok), bukan harganya lebih mahal.

Imam Syafi’i juga berpendapat jika dalam suatu daerah ada beberapa macam makanan pokok yang dikonsumsi maka boleh mengeluakan zakat fitrahnya makanan pokok apa saja yang diinginkannya, akan tetapi yang lebih baik mengeluarkan makanan pokok yang lebih bagus, tidak boleh mengeluarkan beberapa jenis dalam 1 sha’, seperti 1/2 sha’ kurma dan 1/2 sha’ anggur.

Menurut pendapat Imam Syafi’i kadar 1 sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 rithl Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan    Rasulullah Saw adalah takarannya diketahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkan   nya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain”.[5]

4.        Mazhab Hambali
Imam Hambali[6], berpendapat makanan yang dikeluarkan dalam zakat fitrah hanya beberapa jenis makanan saja yang telah dinashkan oleh Rasulullaah Saw yaitu gandum, sya’ir, kurma, anggur, susu yang kering. Beliau juga berpendapat boleh mengeluarkan sawik dan daqiq yaitu makanan pokok yang sudah menjadi tepung. Dan jika tidak didapatkan jenis-jenis yang telah disebutkan maka boleh mengeluarkan biji-bijian atau buah-buahan yang dijadikan sebagai makanan pokok, tidak boleh mengeluarkan yang lain seperti daging sekalipun dijadikan sebagai makanan pokok. Sedangkan kadar yang dikelurkan adalah 1 sha’ sama dengan 4 cidukan kedua telapak tangan orang yang pertengahan atau 2751 gram, berkata sekolompok ulama 2176 gram.

Dari uarain tersebut, dapat disimpulkan bahwa diantara 4 mazhab yang mu`tabar hanya Mazhab Hanafi yang membolehkan membayar zakat fithrah dengan uang.[7]

BERAMAL DENGAN MAZHAB HANAFI

Imam Hanafi adalah salah seorang Ulama Mujtahid Muthlaq yang hasil ijtihadnya sah diikuti oleh semua umat Islam. Walaupun pendapat yang kuat tentang zakat fitrah adalah pendapat dari Imam Syafi’i, namun boleh saja kita mengeluarkan zakat fitrah dengan berpagang kepada pendapat Imam Hanafi yaitu membayar zakat fitrah dengan uang.

Berkata Ibnu Jamal, pendapat yang shahih dari kalam mutaakhkhirin seperti Ibnu Hajar dan lainnya bahwa boleh berpindah dari satu mazhab kepada mazhab yang lain yang mudawwan (terkodifikasi) walaupun hanya karena keinginan semata, baik berpindah untuk selama-lamanya ataupun pada sebahagian masalah saja sekalipun ia pernah berfatwa dan memutuskan hukum dan beramal dengan mazhab yang lain selama tidak terjadi talfiq (mengikuti pada sebagian hal dalam satu perkara) sehingga kedua Imam tersebut tidak mengakui keshahihan amal tersebut.[8]

Para ulama syafi’iyah sepakat bahwa perbuatan yang dikerjakan dengan talfiq tidak sah, bahkan sebagian kalangan ulama berpendapat bahwa para ulama telah ijmak bahwa amalan yang dikerjakan dengan talfiq tidak sah.[9]

Oleh karena itu, membayar zakat fitrah dengan uang harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam mazhab Hanafi. Mazhab Hanafi hanya menetapkan zakat fitrah pada empat jenis makanan saja, yaitu : hintah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma), dan zabib (anggur), beliau juga berpendapat boleh pula mengeluarkan daqiq hintah ( gandum yang sudah menjadi tepung) dan sawiq (adonan tepung). Adapun kadar yang dikeluarkan dalam zakat fitrah menurut mazhab Abu Hanifah adalah 1/2 sha’ gandum atau 1 sha’ sya’ir, 1 sha’ kurma. Sedangkan masalah anggur maka golongan yang bermazhab Hanafi berbeda pendapat tentang kadar yang dikeluarkan, sebagian berpendapat 1 sha’ anggur dan sebagian yang lain berpendapat 1/2 sha’ anggur. 1 sha’ sama dengan 8 rithl Irak menurut mazhab Hanafi. 1 rithl Irak sama dengan 230 dirham atau 3800 gram karena Nabi Saw berwudhu dengan 1 mud yaitu 2 rithl dan mandi dengan 1 sha’ yaitu 8 rithal.[10]

Sedangkan kadar yang dikeluarkan menurut Imam Malik adalah 1 sha’ makanan pokok yang telah disebutkan. Kadar 1 sha’ adalah 4 mud. Yaitu 685 dirham 5/7 atau 5 1/3 rithl Baghdadiy sama dengan sepenuh dua telapak tangan (cidukan tangan) seseorang yang pertengahan (tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil).

Menurut pendapat Imam Syafi’i kadar 1 sha’ adalah 685 5/7 dirham atau 5 1/3 rithl Baghdadiy. Berkata Imam Nawawi dalam Raudhah “telah sulit membuat batasan satu sha’ dengan timbangan, karena satu sha’ yang dikeluarkan    Rasulullah Saw adalah takarannya diketahui tetapi berbeda-beda ukuran timbangannya, karena perbedaan benda yang dikeluarkan   nya, seperti biji-bijian, kacang-kacangan dan lain-lain”.

Sedangkan kadar yang dikelurkan menurut Imam Hambali adalah 1 sha’ sama dengan 4 cidukan kedua telapak tangan, dari tangan orang yang pertengahan atau 2751 gram, berkata sekolompok ulama 2176 gram.
Dari uraian ini dapat diambil kesimpulan bahwa, membayar zakat fitrah dengan uang haruslah dari harga hintah (gandum), sya’ir (padi belanda), tamar (kurma) dan zabib (anggur). Tidak sah membayar zakat fitrah dengan harga beras, karena Imam Hanafi berpendapat tidak sah mengeluarkan zakat fitrah dari selain empat jenis makanan tersebut seperti dengan harga beras sebagaimana dikerjakan kebanyakan masyarakat saat ini.

Kemudian kadar yang dikeluarkan adalah 1/2 sha’ gandum atau 1900 gram (1,9 kg) atau 1 sha’ sya’ir atau 1 sha’ kurma yaitu 3800 gram (3,8 kg). Tidak sah menghargakan gandum atau kurma dengan kadar 1 sha’ dalam mazhab Syafi’i dan Maliki yaitu 2764 gram (2,764 kg) atau kadar 1 sha’ dalam mazhab Hambali yaitu 2751 gram (2,751 kg) atau 2176 gram (2,176 kg).




[1]  Beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauthi nama kecilnya adalah Imam Abu Hanifah. Lahir di Kufah,  suatu kota yanng terletak dinegara Irak sekarang, pada tahun 80 H (696 M) dan kemudian meninggal di Kota itu juga pada tahun 150 H (767 M), meninggalnya tepat pada tahun lahirnya Iam Syafi’I. Abu Hanifah adalah nama panggilan dari Nu’man bin Tsabit bin zauthi. Terdapat beberapa riwayat yang menerangkan bahwa “Hanifah” adalah nama dari salah seorang anak beliau. Abu Hanifah berarti “ Bapak Hanifah “, karena beliau adalah bapaknya Hanifah maka dipanggillah “Abu Hanifah Riwayat kedua menerangkan bahwa “Hanifah “ berarti cenderung maksudnya, cenderung kepada agama Islam, sehingga beliau sangat teguh memegang prinsip-prinsip agama Islam. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal. 69).
[2]  Wahbah Zuhaily. Al-fiqh al-Islamy wa adillatuh. Jilid III. Hal 2044. Darul Fikri Dimsyik.
[3] Beliau adalah Malik bin Anas bin Malek bin Abi ‘Amaar Al-Ashbahi Al-Yamani. Ibunya adalah Ainsyah putri syarek Al-Azdiyah yang juga berasala dari Yaman. Lahir tahun 93 H (712 M) di kota Madinah dan wafat di kota Madinah pula tahun 179 H (789 M)dalam usia 87 tahun. Kakek beliau Abu ‘Amaar datang ke Madinah setelah Nabi muhammad saw wafat, karena itu ia tidak termasuk kedalam saalah satu sahabat rasulullah saw, akan tetapi termasuk dalam golongan tabi’in.Malek dilahirkandi tengah-tengah keluarga yang kurang mampu akan tetapi tekun dalam mempelajari ilmu Agama Islam, terutama mempelajari hadits-hadits Nabi muhammad saw. Kakek beliau termasuk dalam ulama Tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Talhah. Hadits-hadits ini kemudian diriwayat oleh cucunya yaitu Imam Malek, yangf diterimanya dari Nafi’ dan Abu Sahal, salah seorang guru Az-Zuhri. Malek bin Anas mulai belajar dan menghafal Al-Quran sejak masih kecil, kemudian pada usianya yang masih muda beliau sudah sanggup menghfal seluruh Al-Quran. Setelah itu beliau mulai belajar dan menghafal hadits, permintaan beliau kepada ibunya untuk mengunjungi majlis pelajaran dikabulkan dengan senang hati bahkan ibunya menyuruh Malek untuk belajar kepada Rabi’ah (wafat 136 H) seorang ahli figh dari golongan ahli ra’ji (rasional). (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.80).
[4] Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’I bin Said bin Abu Yaziz Hakim bin Muthallib bin Abdul Manaf. Keturunana beliau dari pihak bapak bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad Saw. Pada Abdul Manaf. Oleh karena itu, beliau masih termasuk suku quraisy. Ssedang ibu beliau bukan dari suku quraisy, berasal dari golongan Al-Azd. Beliau lahir di Guzzah (Ghaza), salah satu kota di daerah palestina dipinggir Laut Tengah pada tahun 150 H (767 M) dan wafat di Mesir tahun 204 H (822 M). Ayah beliau meninggal ketika beliau masih kecil dan dalam keadaan demikian beliau dibawa oleh ibunya ke mekkah dan menetap disana. Di Mekkah kedua orang ibu dan anak ini hidup dalam keadaan miskan dan kekurangan, namun si anak (asy-syafi’i) mempunyai cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu pengetahuan, sedang si ibu bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan agama Islam. Oleh karena itu, si ibu berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai anaknya selama menuntut ilmu. Mula-mula beliau belajar dan menghafal Al-Quran. Karena kesungguhanya beliau telah menghafal Al-Quran sewaktu berumur 9 tahun, disamping itu beliau juga menghafal segala hadits-hadits. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinannya beliau hampir tidak dapat menyiapkan seluruh peralatan belajar yang beliau perlukan, sehingga beliau terpaksa mencari kertas yang tidak dipakai atau yang telah dibuang, akan tetapi masih bisa dipakai untuk menulis. Kemudian atas persetujuan ibunya, maka beliau pergilah beliau ke perkampungan kabilah Nudzail yang berdiaam di salah satu dusun di luar Kota Mekkah. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Figh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.88).
[5]  Imam an-Nawawi Raudhatu at-Thalibin. Darul Ibnu Hizm Beirut
[6] Beliau adlah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Bilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hasan Asy-Syabany Al-Marwazy, lahir tahun 164 H dan wafat tahun 241 H di Baghdad. Ibu beliau bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdal Malek bin Sawadah bin Hindun Asy-Syaibaniy. Jadi baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu beliau berasal dari Bani Syaibah, salah satu kabilah yang berdiam semenanjung Arabia. Ayah beliau Muhammad, adalah tentara dinasti Abbasiah yang bertugas dikota Maewi, salah satu kota yang berada diwilayah Khurasan, Asia tengah. Sewaktu ibunda belau hamil ayahnya pergi ke Baghdad pusat kerajaan Abbasiah dan menetap di sana. Di samping itu, banyak anggota keluarga beliau yang lain menjadi tentara dan angota pemerintahan Abbasiyah. Sekalipun Imam Ahmad dibesarkan dalam keluarga yang demikian,namun beliau dikemudian hari tidak mempunyai cita-cita menjadi pegawai. Semula beliau dibesarkan dan dididik oleh kedua orang tuanya, tetapi dalam usia 30 tahun, bapak beliau meninggal dunia, sehingga kelanjutan pendidikan beliau dibiayai olah ibunya. Sejak kecil beliau mulai membaca dan menghafal Al-Quran. Pada usia 14 tahun beliau sudak mampu menghafal seluruh Al-Quran. Dalam usaha menuntut ilmu hadits dan mengumpulkan hadits dari para penghafal hadits dan dengan perbelanjaan yang sangat kurang, pada tahu 186 H beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Kuffah, Basrah ,Syam,Mekkah dan Madinah. Di Mekkah beliau bertemu dengan Imam Syafi’I dan belajar padanya. (Dikutip dari buku Muslem Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqarran , Syiah Kuala University Press, Banda Aceh, 1991. hal.96).
[7] Lihat juga Imam Nawawy, Majmuk Syarah Muhazzab jilid 7, Dar Kutub Ilmiyah 2007, Imam Mawardi, Hawy Kabir jilid 15 hal 301, Dar Kutub Ilmiyah.
[8] Sayid Bakri Syatha, I’anatuth Thalibin, Juz. IV, hal. 217.
[9] Ibnu Jamal al-Makky, Fathul Majid bi Ahkam Taqlid, hal 12.
[10] Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh . Jilid III, hal 2044, Dar Fikr.