Sabtu, 03 Oktober 2015

Keistimewaan Muharram dan Sejarah Tahun Hijriyah

KEISTIMEWAAN 10 MUHARRAM DAN SEJARAH TAHUN HIJRIYAH


A.      Keistimewaan 10 Muharram
Muharam merupakan bulan pertama dalam hitungan tahun hijriyah pada bulan ini pula banyak umat Islam yang melakukan ibadah ritual dalam rangka menghormati dan mengagungkannya terutama pada tanggal 10 Muharram. Kata Muharram, secara etimologi diambil dari bahasa Arab “Harrama-Yuharrimu-Tahriiman-Muharrimun-wa-Muharramun”, yang berarti “diharamkan”. Yakni, Muharram adalah sesuatu yang dihormati/yang terhormat dan yang diharamkan (dari hal-hal yang tidak baik). Sebagaimana tertulis dalam sejarahnya, bahwa pada bulan Muharram ini umat Muslim diharamkan Allah untuk berperang.

Bulan Muharram adalah bulan pertama dan salah satu dari 12 bulan dalam kalender hijriah yang tercantum pada Kitabullah, sejak Allah SWT menjadikan alam semesta. Allah SWT berfirman:   
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (Maksudnya ialah: bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri (Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan) kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS. At Taubah: 36).

Lalu apa saja empat bulan suci tersebut?. Imam Ahmad, Abu Daud, An Nasâ’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan banyak rawi lainnya meriwayatkan Hadits dari Abi Bakroh, Nabi Shallallahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda:
عَنْ أبِيْ بَكْرَةَ رضي الله عنه أنّ النّبيَّ صلّى الله عليه وسلّم خَطَبَ فِيْ حَجِّتِهِ، فَقَالَ: ألَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِاسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَاأَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوالْقَعْدَةِ وَذُوالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَالَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Bukhari Muslim).

Bulan-bulan tersebut disebut bulan haram, menurut Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah karena dua makna. Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.[1]

Pada tahun baru Hijriyah, terutama tanggal 10 Muharram, bagi orang yang kurang mengerti tentang Islam, mereka akan memperingatinya dengan cara yang kurang tepat karena bertitik tolak dari anggapan yang kurang tepat pula. Mereka yang demikian tersebut menganggap Muharram (syura) adalah bulan keramat, angker, atau naas dan berbahaya. Oleh karena itu, peringatan yang diadakan juga bermacam-macam, antara lain; begadang semalam suntuk, berjalan (pawai) semalam suntuk, mengadakan sesaji ke laut atau tempat-tempat yang dianggap keramat, mandi keramas (berendam) supaya awet muda, memandikan (marangi) pusaka, seperti keris, tombak dan lain sebagainya.

Demikian itu mereka lakukan karena menurut keyakinannya, mereka takut celaka, takut kena musibah, dan sejenisnya. Padahal sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak diajarkan oleh Islam, bahkan hal itu bisa mengantarkan pelakunya pada jurang kemusyrikan. Mencela waktu merupakan kebiasaan orang-orang musyrik, Allah berfirman:   
“dan mereka berkata: "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja”. (QS. Al Jatsiyah: 24).

Dalam sebuah Hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ.(رَوَاهُ الْمُسْلِمُ)
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim).

Pada bulan Muharram yang paling relevan untuk dilakukan adalah apa yang pernah diketengahkan oleh Amirul Mu’minin, Umar Ibn Khaththab: “Haasibuu anfusakum qabla an tuhaasabuu” (Koreksilah diri kalian, sebelum kalian semua dikoreksi (di akhirat) kelak). Dalam ungkapan itu yang dimaksud adalah seruan pada umat secara kolektif untuk introspeksi diri terhadap apa yang pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Bukan malah berpoya-poya, berpestaria, ber-SEPHIA-mesra (Sabu-Ekstasi-Putaw-Heroin-Inex-Alkohol) dan bervulgaria bersama penjaja cinta sebagaimana yang dilakukan oleh (sebagian) orang-orang Barat. Betapa sangat terpuji dan mulianya jika dana pesta-pesta tersebut, sarana dan prasana penyambutan tahun baru yang tidak bermanfaat itu dialokasikan kepada mereka yang masih selalu menjerit kelaparan, merintih kehausan, menangis kehilangan tempat tinggal, menggigil kedinginan dan yang mengerang kepanasan. Masih adakah empati kita pada mereka? Ataukah empati itu sudah tertutup dengan dinding tebal apatis dan egois kita?

Pada tanggal 10 Muharaam terjadi peristiwa besar yang menyenangkan dan menyedihkan hal ini dicatat sebagai sejarah besar bagi umat Islam. Diantara peristiwa tersebut adalah:
1.         Diciptakannya langit, bumi, laut, gunung dan surga.
2.         Diciptakannya Nabi Adam dan Hawa.
3.         Diterimanya taubat Nabi Adam dan Hawa.
4.         Dilahirkannya Nabi Ibrahim dan diselamtkan dari api yang membakarnya.
5.         Terjadi peristiwa mimpi Nabi Ibrahim tentang menyembelih Nabi Ismail dan digantikan dengan sembelihan yang lebih besar.
6.         Ditenggelamkannya Fir’aun dan diselamatkannya Nabi Musa dari Fir’aun.
7.         Disembuhkannya penyakit Nabi Ayub.
8.         Diampuninya dosa Nabi Daud.
9.         Dikembalikannya kerajaan Nabi Sulaiman.
10.     Dilahirkannya Nabi Isa.
11.     Diselamatkannya Nabi Isa dan Nabi Idris dari kekejaman umatnya.
12.     Diselamatkannya Nabi Nuh dan pengikutnya dari banjir.[2]
13.     Diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa.
14.     Dikeluarkannya Nabi Yusuf dari penjara.
15.     Dikeluarkannya Nabi Yunus dari perut ikan yang memakannya.
16.     Awal diturunkannya rahmat Allah ke bumi.
17.     Awal turunnya hujan di bumi.[3]
18.     Terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala pada waktu bertempur melawan Bani Umayyah (10 Muharram 61 H/10 Oktober 680 M).[4]

Peristiwa-peristiswa tersebut merupakan peristiswa perputaran siklus kehidupan manusia antara senang, bahagia, sukses, sedih, sengsara, dan gagal. Hal ini akan dialami oleh semua manusia agar dijadikan pelajaran supaya bersabar, tidak sombong dan merubah kehidupannya kearah yang lebih baik. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 140: 
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”.

Dalam menghormati dan mengagungkan tanggal 10 Muharram hendaknya dilakukan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan bukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyalahi anjuran Nabi Muhammad SAW seperti yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yaitu dengan memukul-mukul kepala dan punggung sebagai gambaran kesedihan atas terbunuhnya cucu Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia ada sebagian masyarakat yang suka membuat bubur suro/bubur Hasan-Husein dari beras dengan bumbu kedelai dan palawija (keluwek) di Sumatra Barat dilaksanakan perayaan Tabut. 

Ada banyak hadits Nabi yang menganjurkan umat Islam agar berpuasa pada tanggal 10 Muharram diantarnya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ اْلمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ اْليَهُوْدَ صِيَاماً يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَا هَذَا اْليَوْمُ الَّذِيْ تَصُوْمُوْنَهُ؟) فَقَالُوْا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ أَنْجَى اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَقَوْمَهُ، وَأَغْرَقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوْسَى شُكْراً، فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلىَ بِمُوْسَى مِنْكُمْ) فَصَامَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).
“Dari Ibnu Abbas r.a bahwa ketika Rasulullah Saw di Madinah berjumpa kepada orang Yahudi sedang berpuasa ‘Asura. Rasulullah Saw berkata kepada mereka: Hari ini hari apa, kenapa kalian berpuasa pada hari ini? Mereka (orang Yahudi) berkata: Hari ini adalah hari agung, dimana Allah Swt telah menyelamatkan Musa dan umatnya, dan Allah tenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya, pada hari ini Musa berpuasa karena kesyukurannya tersebut, oleh karena itulah kami juga (orang Yahudi) melakukan puasa pada hari ini (hari ‘Asyura). Berkata Rasulullah Saw: Maka kamilah yang lebih berhak terhadap Musa daripada kamu sekalian (orang Yahudi), maka Rasulullah Saw berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (pada hari ‘Asyura)”.(HR. Bukhari Muslim)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).
Dari Abi Hurairah R.A berkata. Bersabda Rasulullah SAW “Sebaik-baiknya puasa setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah yaitu Muharram”.[5]
مَارَوَاهُ اْلإِمَامُ أَحْمَدَصُوْمُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا اْليَهُوْدَ وَصُوْمُوْا قَبْلَهُ يَوْمًا وَبَعْدَهُ يَوْمًا. (أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ)
Riwayat Imam Ahmad “Berpuasalah kalian di hari tanggal 10 Muharram dan bedakanlah dengan orang Yahudi maka berpuasalah kalian satu hari sebelumnya (tanggal 9 Muharram) dan satu hari setelahnya (tanggal 11 Muharram)”.[6]
وَيُسَنُّ مُتَأَكِّدًاصَوْمُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ  يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَإِنَّمَالَمْ يَجِبْ صَوْمَهُ لِلأَخْبَارِ الدَّالَةِ بِالأَمْرِ بِصَوْمِهِ لِخَبَرِالصَّحِيْحَيْنِ إِنَّ هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَلَمْ يُكْتَبْ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).
Dan disunahkan puasa pada tanggal 10 Muharram sebab Nabi bersabda “puasa tanggal 10 Muharram dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya”. Kemudian puasa tanggal 10 Muharram tidak wajib karena ada beberapa dalil perintahkannya berpuasa seperti riwayat Bukhari Muslim “sesungguhnya hari ini adalah hari tanggal 10 Muharram dan tidak diwajibkan atasmu berpuasa maka barangsiapa hendak berpuasa silahkan berpuasa dan barangsiapa hendak buka maka silahkan tidak berpuasa”.[7]
 
Untuk membedakan antara ritual puasa tanggal 10 Muharram yang dilakukan kaum Yahudi sebagai rasa syukur mereka atas selamatnya Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun maka ada Hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW akan melaksanakan puasa dari tanggal 9 Muharram, namun belum terlaksana karena beliau wafat:
قَالَ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَالسَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ  وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ .وَقَالَ  لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ لَلأَصُوْمَنَّ التَّاسِعَ، فَمَاتَ قَبْلَهُ. (رَوَاهُ مُسْلِمُ)
Nabi bersabda “Puasa hari Arafah dapat menghapus dosa satu tahun sebelum dan sesduahnya. Sedangkan puasa tanggal 10 Muharram dapat menghapus dosa satu tahun sebelumnya, dan jika aku masih hidup tahun depan pasti aku akan berpuasa dari tanggal 9 Muharram”. namun sebelum hal itu terjadi Nabi Muhammad SAW sudah wafat. (HR. Muslim).[8]

Selain berpuasa, pada tanggal 10 Muharram disunahkan memperbanyak shodaqoh, sebagaimana hadits dari Abi Hurairah R.A:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ  اِفْتَرَضَ عَلَى بَنِى اِسْرَائِيْلَ صَوْمَ يَوْمٍ فِى السَّنَةِ وَهُوَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَهُوَالْيَوْمُ الْعَاشِرُ مِنَ  الْمُحَرَّمِ.فَصُوْمُوْهُ وَوَسِعُوْا عَلَى عِيَالِكُمْ فِيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ وَسَعَ فِيْهِ عَلَى عِيَالِهِ وَأَهْلِهِ مِنْ مَالِهِ وَسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَسَنَتِهِ ......(رَوَاهُ التًّرْمُذِيُ فِيْ سُنَنِهِ، وَقَالَ :حَدِيْثُ ابْنِ عَبَّاسِ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ).
Dari Abi Hurairah R.A berkata, Rasulullah SAW bersabda “Sesunggguhnya Allah Azza Wajalla mewajibkan kepada Bani Israil berpuasa satu hari dalam satu tahun yaitu tanggal 10 Muharram. Maka berpuasalah kalian dan lapangkanlah kerabat dan keluarga kalian maka barangsiapa melapangkan kerabat dan keluarganya dengan hartanya pada tanggal 10 Muharram maka Allah akan melapangkannya satu tahun berikutnya”.[9]

Selanjutnya dalam hadits tersebut juga dijelaskan beberapa perbuatan pada tanggal 10 Muharram dengan balasan yang besar, yaitu:
1.         Barangsiapa berpuasa maka ia seakan-akan berpuasa satu tahun.
2.       Barangsiapa berbuat baik terhadap satu orang anak yatim maka seakan-akan ia berbuat baik terhadap seluruh anak yatim di dunia.
3.   Barangsiapa member minum maka Allah akan memberikan minum kepadanya pada hari dimana manusia sedang kehausan.

B.       Sejarah Tahun Hijriyah
Adapaun kata-kata “hijrah” dan pecahan katanya, dalam al Quran ada lebih dari 30 kata. Kata-kata hijrah dirangkai dengan kata-kata “iman” dan “jihad”. Hal itu menunjukkan bahwa hijrah adalah suatu tingkat dalam perjuangan (jihad) yang berlandaskan kepada keimanan. Firman Allah SWT:   
“Orang-orang yang beriman, yang berhijrah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan dirinya, lebih tinggi derajatnya pada sisi Allah, Mereka itulah orang-orang yang menang. Tuhan menyampaikan berita gembira kepada mereka dengan beroleh rahmat, ridhaNya dan surga yang di dalamnya mereka memperoleh nikmat yang abadi”. (QS. At-Taubah: 20-21).

Derajat yang tinggi dari Allah SWT tersebut merupakan penghargaan bagi orang-orang yang berjuang, berjihad dan berkurban demi agama-Nya. Perjuangan harus dilandasi dengan iman yang kuat dan mendalam. Jihad adalah upaya dengan sungguh-sungguh sehingga nampak jelas garis pemisah antara yang hak dan yang batil.

Setiap tahun umat Islam selalu mengalami perbedaan pendapat dalam menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan. Padahal kalau ditelusuri sejarah dibuatnya kalender Hijriyah (kalender yang perhitungannya berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) atau disebut juga Tahun Qomariyah (qomarun artinya bulan). Maka tidak perlu lagi ada perbedaan itu. Mengapa? Sebab satu kali bulan mengelilingi bumi itu tidaklah pas 29 hari atau 30 hari. Walaupun sekarang sudah dapat dilihat pada kalender bahwa bulan Muharam itu 30 hari, Syafar 29 hari, Rabiul Awal 30 hari, Rabiul akhir 29 hari dan seterusnya... itu berdasarkan kesepakatan para ulama fiqih dan para ulama akhli astronomi (Ahli Ilmu Falaq) pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Bagaimana kejadiannya?

Allah SWT telah menciptakan bulan sebagai satelit bumi. Bola kecil ini selalu berevolusi mengelilingi bumi dalam waktu yang telah ditentukan pada lintasan yang telah ditentukan pula. Bulan berotasi terhadap porosnya selama 27,3 hari. Ia pun berevolusi terhadap bumi selama 27,3 hari. Efek dari perputaran ini, permukaan bulan yang terlihat dari bumi tidak berubah dari waktu ke waktu. Salah satu manfaat dari penciptaan bulan adalah kegunaannya sebagai patokan dalam penentuan penanggalan. Allah SWT berfirman:   
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5).

Dalam ayat tersebut Allah SWT juga memberikan ‘kesaksian’ bahwa bulan digunakan sebagai patokan penanggalan. Selain itu apabila melihat realitas yang terjadi pada manusia, beberapa kalender juga menggunakan sistem lunar calendar. Ambil contoh, Kalender Jawa dan Kalender Hijriah. Keduanya menggunakan sistem lunar calendar, sistem kalender yang acuan perhitungannya didasarkan atas pergerakan bulan.
Pergerakan Bulan Ada dua macam. Pertama, Siderial month yaitu periode yang dibutuhkan bulan untuk berputar 360° mengelilingi bumi, lamanya 27,321 hari. Kedua Synodic month yaitu periode antara satu bulan baru dengan bulan baru lainnya, lamanya 29,53059 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan siderial month karena bumi juga berevolusi terhadap matahari pada arah yang sama, sehingga untuk mencapai konjungsi berikutnya memerlukan tambahan waktu. Dari kedua fase tersebut, yang umum digunakan dalam penentuan Kalender Hijriah adalah synodic month. Arah revolusi bulan terhadap bumi sama dengan arah revolusi bumi terhadap matahari, dari Barat ke Timur. Akibat dari revolusi bulan ini dan kombinasinya dengan revolusi bulan mengelilingi matahari, penduduk bumi dapat menyaksikan berbagai macam fase bulan, mulai dari bulan baru, bulan separuh, sampai klimaksnya pada fase bulan purnama kemudian bulan mati dan akan kembali lagi ke titik awal revolusi, dimulai lagi dari fase bulan baru. Setiap bulan, terjadi peristiwa konjungsi (ijtimak) dimana matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis bujur yang sama, dilihat dari arah timur maupun barat. Peristiwa penting inilah yang menjadi patokan awal bulan baru, meskipun tidak semua aliran menjadikan konjungsi sebagai tanda dimulainya awal bulan.

Kalender hijriah, didasarkan atas pergerakan sinodis bulan, yaitu selama 29,5309 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Sehingga dalam waktu 12 bulan akan mencapai sekitar 354,367 hari. Mengapa yang dipilih sebagai jumlah bulan dalam tahun hijriah adalah 12? Menurut Dr. Ali Hasan Musa, sebenarnya tidak ada argumentasi astronomis satupun yang mendasari akan hal ini. Akan tetapi, salah satu alasan yang dapat digunakan adalah, karena dengan 12 bulan akan mendekati jumlah hari pada solar calendar. Sebenarnya apabila merujuk kembali pada Firman Allah SWT surat at Taubah ayat 36. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sejak awal, Allah SWT sudah menentukan bahwa jumlah bilangan bulan dalam al Quran adalah 12. Hal ini juga berdasarkan atas Hadits Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, al Nasâ’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan banyak rawi lainnya. Dari Abu Bakroh, sesungguhnya Nabi SAW berkhutbah pada haji wadâ‘, beliau bersabda:
عَنْ أبِيْ بَكْرَةَ رضي الله عنه أنّ النّبيَّ صلّى الله عليه وسلّم خَطَبَ فِيْ حَجِّتِهِ، فَقَالَ: ألَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِاسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَاأَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوالْقَعْدَةِ وَذُوالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَالَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ).
”Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Bukhari Muslim).

Pada awalnya, masyarakat Arab kuno menggunakan sistem lunar calendar murni. Namun, pada tahun 200 sebelum hijrah, masyarakat Arab mengubahnya menjadi sistem lunisolar calendar yang untuk mengsingkronkan dengan musim maka dilakukan dengan menambah jumlah bulan atau interkalasi (al nasî’). Kemudian, setelah turunnya Surah at Taubah ayat 36, yang terkait dengan pelarangan interkalasi yang merupakan konsekuensi dari lunisolar calendar, maka dirubahlah sistem kalender masyarakat Arab menjadi murni lunar calendar. Pada hari Rabu, 20 Jumadil Akhir 17 Hijriah, pada masa Kekhilafahan Umar bin Khathab, diproklamirkanlah kalender hijriah yang tahun 1 Hijriahnya dimulai pada tahun dimana Nabi SAW berhijrah dari Mekah ke Yastrib (Sekarang namanya Madinah).

Menariknya, meskipun bulan Muharram merupakan bulan pertama tahun Hijriyah, ternyata Muharram bukan awal permulaan hijrah Nabi SAW. Sebab hijrah beliau tepat pada tanggal 2 atau 4 Rabiul Awal tahun ke-13 tahun Kenabian bertepatan dengan tanggal 14 atau 16 September 622 M, bukan pada awal Muharram yang ketika itu bertepatan dengan tanggal 15 Juli 622 M, antara permulaan hijrah Nabi SAW dan permulaan kalender Islam (Muharram) sesungguhnya terdapat jarak sekitar 62 atau 64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Shafar. Nabi sampai di Madinah pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke-13 tahun Kenabian bertepatan dengan tanggal 24 September 622 M.[10] Jarak kota Mekkah dan Madinah kira-kira 498 KM.

Ada perbedaan selama 11 hari antara tahun hijriah yang berjumlah sekitar 354 hari dengan tahun masehi yang berjumlah sekitar 356 hari. Oleh karena tidak berdasarkan pada pergerakan matahari yang sudah tentu tidak memperhitungkan pergantian musim, maka terkadang awal tahun hijriah dimulai pada musim dingin dan setelah 16 tahun akan dimulai pada musim panas. Adapun 12 bulan dalam kalender hijriah adalah Muharam 30, Safar 29, Rabiul Awal 30, Rabiul Akhir 29, Jumadil Awal 30, Jumadil Akhir 29, Rajab 30, Sya’ban 29, Ramadan 30, Syawal 29, Zulkaidah 30, Zulhijah 29. Metode Kalender Hijriah (Hisâb ‘Urfi) Menurut hisab urfi, dalam kalender hijriah ada 354 hari. Namun sebenarnya, perputaran bulan hakiki selama satu tahun adalah 354,367 hari atau 354 hari 8 jam 44 menit 35 detik (Periode sideris 29,53059 x 12 = 354,367). Tentunya manusia tidak mungkin menggunakan kalender dengan sisa 0,367 hari tersebut. Untuk menyiasati hal ini, maka dilakukan tiga metode.
1.  Peredaran bulan sinodis: 29 menit 12 jam 44 menit 2,8 detik. Angka 2,8 detik diabaikan karena sangat kecil sehingga tidak berarti. Dengan demikian, rata-rata hari dalam satu tahun adalah: 29,5 hari x 12 = 354 hari 44 menit x 12 = 528 menit Jadi, dalam setahun ada 354 hari 528 menit.
2.  Berhubung manusia tidak mungkin menggunakan kalender dengan jumlah hari 0,5 maka untuk menyiasatinya bilangan pecahan 29,5 hari tersebut dikalikan dengan 2 sehingga menjadi 59 hari (hitungan 2 bulan). 30 hari diberikan kepada bulan ganjil, 29 hari diberikan kepada bulan genap. Sehingga, dalam satu tahun ada 6 bulan yang berjumlah hari 29 dan 6 bulan yang berjumlah hari 30. Apabila dijumlahkan maka akan didapatkan angka 354 hari (jumlah hari dalam satu tahun hisab urfi).
3.    Terdapat sisa 44 menit setiap bulan yang akan menjad 528 menit setiap tahun. Dalam waktu 3 tahun, jumlah ini akan menjadi 1 hari lebih (528 x 3 = 1548 menit, 1 hari = 1440 menit). Dalam siklus 1 daur (30 tahun), 1 daur dipilih 30 tahun karena apabila 0,367 hari yang merupakan sisa hari setiap tahun dikalikan dengan 30 tahun akan menghasilkan 11,01 hari (dengan angka dibelakang koma terkecil) akan menjadi 15480 menit atau genap 11 hari (15480 : 1440 = 11). Sisa 11 hari tersebut didistribusikan kedalam tahun-tahun selama 1 daur (30 tahun). Masing-masing akan mendapatkan 1 tahun. Adapun tahun-tahun yang mendapatakan tambahan satu hari dalam periode 30 tahun itu adalah tahun-tahun yang angkanya merupakan kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26 dan 29. Atau digunakan syair (Huruf yang bertitik, menunjukkan urutan tahun kabisat, yang tidak bertitik menunjukkan basitah).

Dalam kalender hijriah, intervalnya memang terlihat tidak teratur, namun ada metode tersendiri dalam menetapkan tahun kabisat, yaitu dengan mengalihkan bilangan urutan tahun tersebut dengan sisa 0,367. Apabila sisanya lebih dari 0,5 (hari) maka tahun tersebut adalah tahun kabisat. Apabila sisanya kurang dari 0,5 hari, maka tahun tersebut adalah tahun basitah. Sebagai contoh: Tahun ke-1 x 0,367 = 0,367 (kurang dari 0,5 maka tahun basitah). Tahun ke-2 x 0,367 = 0,734 (lebih dari 0,5 maka tahun kabisat). Tahun ke-3 x 0,367 = 1,101 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,101, karena kurang dari 0,5 maka basitah). Tahun ke-4 x 0,367 = 1,468 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,468, karena kurang dari 0,5 maka basitah). Tahun ke-5 x 0,367 = 1,835 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,835, karena lebih dari 0,5 maka kabisat). Untuk mengetahui apakah suatu tahun itu kabisat atau basitah, caranya dengan membagi bilangan tahun dengan 30 (1 daur), sisa pembagiannya apabila terdapat pada salah satu angka di atas, maka ia kabisat. Misalkan tahun 1359 : 30 = 45 daur sisa 9 tahun, berarti 1359 merupakan tahun basitah. Tahun 1431 : 30 = 47 daur sisa 21 tahun, berarti, 1431 merupakan tahun kabisat.

Sebagai sebuah sistem penanggalan, lunar calendar (baca: kalender hijriah) layak untuk mendapatkan perhatian lebih dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalender hijriyah tidak terikat dengan pergantian musim, salah satu dampak positifnya bagi umat Islam yang menjalankan syariat -beberapa diantaranya terikat dengan penanggalan seperti haji dan puasa Ramadhan- adalah variasi musim ketika menjalankan syariat tersebut, tidak selalu ibadah haji dikerjakan di musim panas, begitu pula puasa Ramadhan. Kelebihan lain dari sistem kalender ini adalah, ia menggunakan pergerakan bulan sebagai acuannya. Bulan merupakan benda langit yang mudah dilihat dan diamati fase-fasenya. Ini yang menjadikan kelebihan sistem lunar calendar. Namun, seiring perkembangan zaman, tantangan akan penggunaan sistem kalender hijriah semakin banyak. Perbedaan umat Islam dalam menentukan awal bulan -diantaranya perbedaan antara mazhab rukyat murni dengan hisab-, permasalahan matlak, dan berbagai masalah lainnya menjadi tantangan bagi kalender hijriah. Sebagai seorang akademisi muslim, tantangan tersebut tidak seharusnya menjadi penghalang. Justru menjadi motivasi untuk lebih giat melakukan riset mengenai sistem kalender hijriyah.

DAFTAR PUSTAKA
1.        Tanbiihul Ghofilin, Syaikh Nashir bin Muhammad bin Ibrahim As Samarqandi, h. 122.
2.        Kitab I’anatuth Thalibin, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha al Dimyathi, jilid. 2.
3.        Ihya Ulumid Diin, Imam Ghazali, Jilid. 1.
4.        Fathul Wahhab, Syaikh Islam Abi Yahya Zakaria al Anshori, Juz. 1.
5.        Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, Jilid. 2 dan 3.
6.        Zadul Maysir, Ibnul Jauziy.
7.        Ahmad, Abdul Aziz Bakri, Mabâdi’ ‘Ilmil Falaq al Hadîts, Maktabah al Dâr al ‘Arabiyah li’l Kitâb, Kairo, Mesir, cet. I, 2010.
8.        Al Bukhâri, Muhammad bin Ismail, al-Jâmi‘ al Shahîh, ditahkik oleh Muhibbuddîn al Khathîb, al Mathba‘ah al Salafiyyah, Kairo, Mesir, vol. II, cet. I, 1403 H/1982 M.
9.        Al Dalâl, Syarqawi Muhammad Shâlih, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al Falakiyyah, Mu’assasah al Kuwait li al Taqaddum al ‘Ilmi, Kuwait, vol. II, t.t
10.    At Thabari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir, Jaâmi‘u’l Bayân ‘an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân, ditahkik oleh Adullah bin Abdul Muhsin al Turki, Markaz al Buhûts wa al Dirâsât al Islâmiyyah bi Dâr Hajar, Giza, Mesir, vol. 11, cet. I, 1422 H/2001 M.
11.    Azhari, Susiknan, Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 2007.
12.    Fayâdh, Muhammad Muhammad, al-Taqâwîm, Nahdhah Mishr, Kairo, Mesir, cet. II, 2002.
13.    Musa, Ali Hasan, al Tauqît wa al Taqwîm, Dâr al Fikr, Damaskus, Syiria, cet. II, 1998.



[1] Zadul Maysir, Ibnul Jauziy, tafsir surat At Taubah ayat 36.
[2] Kitab Tanbiihul Ghofilin, Syaikh Nashir bin Muhammad bin Ibrahim As Samarqandi, h. 122.
[3] Kitab I’anatuth Thalibin, Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Syatha al Dimyathi, jilid. 2, h. 267.
[4] Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, Jilid. 3, h. 13.
[5] Kitab Ihya Ulumid Diin, Imam Ghazali, Jilid. 1, h. 238.
[6] Kitab I’anatuth Thalibin, Jilid. 2, h. 266.
[7] Ibid.
[8] Kitab Fathul Wahhab, Syaikh Islam Abi Yahya Zakaria al Anshori, Juz. 1, h. 124.
[9] Kitab I’anatuth Thalibin, Jilid. 2, h. 266.
[10] Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, Jilid. 2, h. 111.