Minggu, 26 Juli 2015

SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH, MA'RIFAH

SYARI’AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA’RIFAH


1.        Syari’ah
Adalah hukum Islam yaitu Al Quran dan sunnah Nabawiyah/Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu fiqih, aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat, ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqih yang dinyatakan mu’tabar (shahih dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu tauhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya umat Islam terpecah menjadi 73 golongan/firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep-konsep, menyangkut keyakinan tentang Allah Swt, para malaikat, kitab kitab Allah, para nabi dan rasul, hari Qiamat dan taqdir.

Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan fiqih. Dalam fiqih masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Quran dan Sunnah Nabi serta sudah teruji kebenarannya dan diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten/istiqamah berada di bawah panji tauhidnya Rasulullah Saw dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jama’ah.

2.        Thariqah
Adalah jalan/cara/metode implementasi syari’ah. Yaitu cara/metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan syari’ah Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum syari’ah, lebih jelasnya syari’ah adalah hukum dan thariqah adalah prakteknya/pelaksanaan dari hukum itu sendiri. 

Thariqah ada dua macam, pertama thariqah ‘aam adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran-anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru/mursyid. Kedua thariqah khos yaitu melaksanakan hukum syari’ah Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru/mursyid. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaannya yang baik dan benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru/mursyid dengan izin bai’ah khusus yang sanadnya sambung sampai pada Nabi Muhammad Saw. Thariqah Khos lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah/Thariqah al Auliya. Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah berjumlah 360 thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama berjumlah 44 thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah. Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :
ان شريعتي جا ئت على ثلاث مائة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الاّ نجا .( ميزان الكبرى للامام الشعرني, جز:1/30)

“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: Juz. 1 hlm. 30).

Dalam riwayat hadits yang lain dinyatakan bahwa :
ان شريعتي جائت على ثلاث مائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( رواه الطبرني)
“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani).
Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits di atas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi Saw yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada hadits Nabi yang shahih?

Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan thariqah mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah (metode) pendekatan kepada Allah Swt dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabat (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan di sisi Allah Swt dengan sedekat-dekatnya. Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah Swt seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur terhadap limpahan rahmat dan nikmat Allah Swt, tidak ada target martabat (maqamat) dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunah dalam hal ini. Tapi melaksanakan ibadah secara ikhlas tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala akhirat, kerinduan hamba yang penuh cinta pada Allah akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan (jabatan) di sisi Allah tetapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah Swt. Habibullah adalah kedudukan Nabi Muhammad Saw. (Adam Shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad Saw Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan metode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.

Nama-nama thariqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’tabar (benar sanadnya sambung sampai pada Rasulullah Saw), antara lain:
1.         Umariyah                              23.  Usysyaqiyyah
2.         Naqsyabandiyah                   24.  Bakriyah
3.         Qadiriyah                              25.  Idrusiyah
4.         Syadziliyah                           26.  Utsmaniyah
5.         Rifaiyah                                27.  ‘Alawiyah
6.         Ahmadiyah                           28.  Abbasiyah
7.         Dasuqiyah                             29.  Zainiyah
8.         Akbariyah                             30.  Isawiyah
9.         Maulawiyah                          31.  Buhuriyyah
10.     Kubrawiyyah                        32.  Haddadiyah
11.     Sahrowardiyah                      33.  Ghaibiyyah
12.     Khalwatiyah                         34.  Khodiriyah
13.     Jalwatiyah                             35.  Syathariyah
14.     Bakdasiyah                           36.  Bayumiyyah
15.     Ghazaliyah                            37.  Malamiyyah
16.     Rumiyah                               38.  Uwaisiyyah
17.     Sa’diyah                                39.  Idrisiyah
18.     Jusfiyyah                               40.  Akabirul Auliya’
19.     Sa’baniyyah                          41.  Subbuliyyah
20.     Kalsaniyyah                          42.  Matbuliyyah
21.     Hamzaniyyah                        43.  Tijaniyah
22.     Bairumiyah                           44.  Sammaniyah.
(Diambil dari buku hasil keputusan Kongres & Mubes Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabaroh An Nahdliyah, pada hasil Mu’tamar kedua di Pekalongan tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H/9 November 1959. halaman 25).

3.        Haqiqah
Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehingga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya hakekat dirinya selaku seorang hamba di depan Tuhannya selaku Al Khaliq. Bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada level ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah Swt, tapi justru karena adanya target-target hajat duniawi (pahala dunia) yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.

Sedangkan golongan Muhaqqiqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata-mata karena Allah Swt, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan/tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuannya, tanpa mengharapkan gaji/pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya. Tujuan mereka adalah Allah Swt bukan benda-benda dunia atau akhirat termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan.

4.        Ma’rifah
Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. (wusul ilallah). sehingga dia benar-benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah Swt. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma-Nya, Sifat-sifat-Nya, Af’al-Nya dan Dzat-Nya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk di alam raya ini. Para ‘Arifiin tujuan dan cita-cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah Swt dengan ampunan dan keridhaan-Nya, tetapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba-hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah Swt.

Kesimpulan:
Syari’ah bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara haqiqah ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah. Syari’ah laksana baju sedangkan haqiqah ibarat badan.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syari’ah dan haqiqah secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada pernyataan cukup terkenal, “Haqiqah tanpa syari’ah adalah kepalsuan, sedangkan syari’ah tanpa haqiqah adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyari’ah tanpa berhaqiqah, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedangkan berhaqiqah tanpa bersyari’ah, niscaya ia akan menjadi zindik. Barangsiapa menghimpun keduanya (syari’ah dan haqiqah), ia benar-benar telah berhaqiqah.”

Syari’ah adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al Quran hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah Swt dan paling memahami Al Quran menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal dengan sebutan hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.

Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami Nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan Nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan kedalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al Quran, Hadist, Ijmak dan Qiyas, yang dikenal dengan syari’ah Islam.

Untuk melaksanakan syari’ah Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan yang diperintahkan Allah Swt dan yang dilakukan Rasulullah Saw sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah Swt memerintahkan shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan dan dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh umat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifah yaitu hamba bisa memandang dzat Allah Swt.

Ketika memulai shalat dengan Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin.. “Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik”. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Allah Swt, menemukan dzat yang Maha Agung, sehingga dia tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Allah Swt. Terkadang ada orang dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar dia hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat dzat-dzat lain selain Allah Swt. Kalau dzat Tuhan sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syari’ah tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syari’ah hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syari’ah dengan benar, ruh ibadah harus hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Thariqatullah (jalan kepada Allah) yang kemudian disebut dengan Thariqah. Thariqah pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama thariqah diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan thariqah dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang dikenal dengan syari’ah tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerakan kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu pemilik ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan alam semesta, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding-dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah adalah proses menunggu, menunggu Tuhan yang dirindukan oleh hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kehilapan orang Islam di seluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syari’ah dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syari’ah dengan benar yaitu thariqah. Ketika ilmu thariqah dilupakan bahkan sebagian orang menganggap ilmu warisan Nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat bukannya mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al Ankabut: 45) tetapi ancaman kecelakaan (QS. Al Ma’un: 4-7). Harus diingat bawah “Lalai” yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah Swt. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau di luar shalat tidak dilatih berdzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seseorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al A’la, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhannya dan kemudian menegakkan shalat”. (QS. Al A’la: 14-15).

Sebagian ulama memberi gambaran tentang keterkaitan syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah dengan ibarat buah kelapa. Syari’ah ibarat kulitnya, Thariqah ibarat tempurungnya, Haqiqah ibarat isinya dan Ma’rifah ibarat minyaknya. Keempatnya saling terkait menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Artinya untuk mendapatkan ma’rifah, harus melalui proses melalui syari’ah, thariqah dan haqiqah. Syari’ah sebagai dasar hukumnya, thariqah sebagai pelaksanaannya, haqiqah sebagai hasilnya dan ma’rifah sebagai manfaatnya. Barangsiapa yang mengamalkan fiqih (syari’ah) tanpa bertasawwuf (thariqah) maka dia adalah fasiq. Dan barangsiapa yang mengamalkan tasawwuf (thariqah) tanpa mengamalkan fiqih (syari’ah) maka dia adalah zindiq (penyeleweng). Haqiqah tanpa syari’ah adalah batal, dan syari’ah tanpa haqiqah adalah tiada berarti.

Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah ibarat satu jenis makanan (misalnya nasi rawon). Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan-bahan dan cara membuat nasi rawon sama dengan syari’ah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon sama dengan thariqah. Resep dan praktek masak nasi rawon bisa melalui buku dan mempraktekkannya sendiri disebut thariqah ‘am sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli disebut thariqah khusus. Makan nasi rawon dan menjelaskan rasanya yang enak disebut haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahui secara detail rasanya, aromanya, kelebihan dan kekurangannya disebut ma’rifah. Haqiqah dan ma’rifah ini tidak ada buku/kitabnya.

Syari’ah adalah Pandangan Hidup (syara’), Pegangan Hidup (syari’ah), dan Perjuangan Hidup (manhaj) yang diwahyukan Allah Swt untuk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupannya. Sebagai pandangan hidup seorang muslim yang Islam oriented akan selalu setia pada syari’ah dalam berbagai persoalan hidupnya dengan senantiasa berpedoman kepada Al Quran dan Sunah Nabi. Firman Allah Swt:

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. Asy Syura: 13).

Yang dimaksud : “agama” dalam ayat tersebut ialah meng-Esakan Allah Swt, beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jatsiyah: 18).

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS Al Maidah: 48).

Sebagai pegangan hidup, syari’ah diturunkan Allah Swt ke dunia ini dengan Ilmu-Nya yang tidak terbatas. Oleh karenanya, syari’ah bersifat universal. Kemudian, Allah mengutus Rasulullah Saw. sebagai Rahmatan Lil Alamiin (QS. Al Furqan: 1) dan yang memberi peringatan (memberlakukan syari’ah) kepada seluruh alam. (QS. Al Anbiya: 107). Sebagai perjuangan hidup, Al Quran, As Sunnah, dan ijtihad sebagai sumber syari’ah meliputi prinsip dasar (Iman/Aqidah/Islam /Ibadah, dan Ihsan/Akhlak) serta norma-norma hukum Islam.

Menurut Syaikh Athaillah As Sakandary dan para sufi, bahwa amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu Amal Syari’ah, Amal Thariqah, dan Amal Haqiqah atau Amal Islam, Amal Iman, dan Amal Ihsan atau Amal Ibadah, Amal Ubudiyyah, dan Amal Ubudah atau Amal Ahli Bidayah (tahap pemula), Amal ahli Wasath (tahap pertengahan), dan Amal Ahli Nihayah (tahap akhir). Syari’ah untuk memperbaiki zawahir atau zawarih (anggota badan), thariqah untuk memperbaiki dhamair (hati), dan haqiqah untuk memperbaiki sarair (ruh).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dengan tiga perkara yaitu Ikhlas, Sidiq, dan Thuma’ninah (ketenangan). Dan memperbaiki ruh juga dengan tiga perkara, yaitu Muraqabah (waspada/merasa diawasi/seolah-olah melihat Allah Swt), Musyahadah (menyaksikan Asma, Sifat, dan Af’al Allah Swt), dan Ma’rifah (mengenal Allah Swt).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dengan menjauhi larangan Allah Swt dan mengikuti perintah-Nya. Memperbaiki hati dengan menjauhi sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat utama. Memperbaiki ruh dengan menghinakannya dan menundukkannya sehingga menjadi terdidik adab, tawadu’, dan berbudi.

Ahli syari’ah ialah orang yang melaksanakan amal ibadah lithalabil ujur (karena mengharapkan upah atau pahala dari Allah Swt). Ahli thariqah masih dalam perjalanan antara syari’ah dan haqiqah. Sedangkan ahli haqiqah ialah orang-orang yang melaksanakan ibadah (pengabdian kepada Allah Swt) semata-mata karena mengikuti perintah Allah Swt.

Syaikh Athaillah As Sakandariyah berkata “Orang yang telah sampai pada haqiqah Islam maka ia tidak kuasa menghindari melaksanakan syari’ah. Orang yang telah sampai pada haqiqah iman maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Swt. Dan orang yang telah sampai pada haqiqah ihsan maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt.

Menurut Syaikh Ali bin al Haitamy “Syari’ah ialah apa yg berkaitan dengan taklif (pembebanan suatu ibadah), sedangkan haqiqah ialah apa yang dapat menghasilkan mengenal Allah. Syari’ah dikuatkan oleh haqiqah dan haqiqah terikat dengan syari’ah. Syari’ah adalah sebagai wujud perbuatan Allah Swt dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para rasul sedangkan haqiqah ialah menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan”.

Syaikh al Arif Billah Sayyid Ibrahim ad Dasuqi al Quraisy berkata “Syari’ah ibarat pohon dan haqiqah ibarat buahnya. Ahli Syari’ah akan batal shalatnya dengan bacaan yang buruk, sedangkan ahli haqiqah akan batal shalatnya dengan akhlak yang buruk. Jadi apabila di dalam batinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kepada seseorang, mencintai dunia, dan lain sebagainya maka shalatnya batal. Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt di dalam shalat. Dan orang yang hatinya terhijab maka ia tidak shalat, karena sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan makhluk dengan Allah Swt”.

Untuk mencapai haqiqah (inti) kita harus mampu menghancurkan kulit, yang mengandung pengertian bahwa paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman esoteric (bersifat khusus/rahasia), karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yang mana ia tidak dapat direduksikan (dikurangi) kepada bentuk luaran yang bersifat eksoterik (pengetahuan yang boleh diketahui oleh siapa saja).

Secara sederhana kita ambil contoh ibadah shalat. Syari’ahnya adalah memenuhi kewajiban sesuai dengan firman Allah Swt:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103).

Thariqahnya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan, salah satunya tidak berbuat keji dan munkar.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Ankabut: 45).

Orang yang shalat tanpa thariqah maka termasuk orang yang lalai efeknya adalah mendapat kecelakaan serta berbuat riya dan tidak mau menolong.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al Ma’un: 4-6)

Haqiqahnya adalah dzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14).

Ma’rifahnya adalah mi'raj ruhani kehadirat Ilahi. “Shalat adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman”. (HR Baihaqi dan Muslim).

Ma’rifah adalah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik Asma-Nya, Sifat-Nya, maupun Af'al-Nya). Firman Allah Swt:

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?". Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus: 31-32).


Sebenarnya tidak ada pemisahan antara keempat ilmu Syari’ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah, keempatnya adalah satu. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syari’ah sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu thariqah. Ketika kita telah mencapai tahap ma’rifah maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa keempat ilmu tersebut tidak terpisah. Seperti wujud gula dan manisnya yang tidak dapat dipisahkan jika ada yang merasakan gula pahit maka ada masalah dengan lidahnya.

Selasa, 14 Juli 2015

Pulang Kampung (Mudik)

PULANG KAMPUNG (MUDIK)

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكبَرْ (3×) لا إله إلا الله والله اكبر، الله اكبر ولله الحمد .
لاَتُحْصَى، وَجَعَلَ لَهُمْ عِيْدًا يَعُوْدُ فِى كُلِّ عَامٍ وَيَتَكَرَّرُ، تَقَّاهُمْ بِهِ مِنْ دَرْنِ الذُّنُوْبِ وَطَهَّرَ، فَمَا مَضَى شَهْرُ الصِّيَّامِ إِلاَّ وَأَعْقَمَهُ بِأَشْرِ الْحَجِّ إِلَى بَيْتِهِ الْمُطَهَّرِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الَّتِى لاَيُحْصَى، وَأَشْكُرُهُ وَهُوَ الْمُسْتَحِقُّ لْأَنْ يُحْمَدَ وَيُشْكَرَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَاِلهَ اِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ خَلَقَ فَقَدَّرَ وَدَبَّرَ فَيَسَّرَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ اللَّوَاءِ وَالْكَوْثَرْ، نَبِيُّ نُصِرَ بِالرَّعْبِ مَسْيَرَةَ شَهْرٍ حَتَّى إِنَّهُ لِيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِى اْلأَصْفَرِ، نَبِيُّ غُفِرَلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ، وَمَعَ ذَلِكَ قَامَ عَلَى قَدَمِهِ الشَّرِيْفِ حَتَّى تَفْطُرَ.
اَللهُمَّ صَلِّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ مَالاَحَ هَلاَلٌ وَأَنْوَارٌ، وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. (أمّابَعْدُ)
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ أعوذ با الله من الشيطان الرجيم :
يَأيّهَا النَّاسُ اتّقُوا ربّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لاَيَجْزِى وَالِدٌ عَنْ وَالِدِهِ وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْىئا إنّ وَعْدَ اللهِ حَقّ فَلاَ تَغُرّنّكُمُ الْحَيوةُ الدّنْيَا وَلاَيَغُرّنّكُمْ بِاللهِ الْغَرُوْرُ (لقمن: 33)

Hadirin Kaum Muslimin dan  Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Setelah satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia Allah pada hari ini kita dapat berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia ini kita instrospeksi diri, merayakan sebuah momentum kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat dan maghfiroh Allah. Sebagaimana tersurat dalam sebuah hadis Qudsi:

اِذَا صَامُوْا شَهْرَ رَمَضَانَ وَخَرَجُوْا اِلىَ عِيْدِكُمْ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالىَ: يَا مَلاَئِكَتِى كُلّ عَامِلٍ يَطْلُبُ اُجْرَهُ اَنّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ فَيُنَادِى مُنَادٌ: يَا اُمَّة مُحَمَّدٍ اِرْجِعُوْااِلَى مَنَازِلِكُمْ قَدْ بَدَلْتُ سَيِّئاتِكُمْ حَسَنَاتٍ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: يَا عِبَادِى صُمْتُمْ لِى وَاَفْطَرْتُمْ لِى فَقُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ

Artinya: “Apabila mereka berpuasa di bulan Ramadhan kemudian keluar untuk merayakan hari raya kamu sekalian maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku, setiap orang yang mengerjakan amal kebajian dan meminta balasannya sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka'. Sesorang kemudian berseru: 'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian. Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun berfirman: 'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untuk-Ku dan berbuka untuk-Ku. Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.”

Salah satu fenomena yang terjadi pada sebagian umat Islam di Indonesia ketika menghadapi idul fitri adalah pulang kampung (mudik), dengan berbagai cara dan alasan mereka melakukan pulang kampung ada yang melakukannya dengan melalui jalan darat, melalui laut dan melalui udara dengan alasan ingin bertemu sanak saudara, menunjukkan jati diri keberhasilannya di tempat rantau atau hanya sekedar hura-hura. Begitu pula kita akan pulang kampung kepada Allah dengan berbagai cara, ada yang meninggal dalam kondisi tenang dan terlihat seperti orang tersenyum ada juga yang meninggal dalam kondisi menyakitkan badannya gemetaran berhari-hari seperti merasakan siksaan begitu berat. Kondisi pulang kepada Allah tergantung amal perbuatan kita semasa hidup di dunia.

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Kaum Muslimin dan  Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Pada hakikatnya kita semua akan mengalami pulang kampung kembali kepada dzat yang suci, kembali kepada dzat yang menciptakan, kembali kepada asalnya. Karena kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.


إنّالِلهِ وَإنّا إلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
“Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali”. (QS. Al Baqarah: 156).

Pulang kampung dalam perspektif Islam terbagi menjadi dua yaitu pulang secara fisik dan pulang secara spiritual. Secara fisik badan kita akan kembali ke tanah dikubur dalam lubang lahat dan akan musnah melebur dengan tanah. Demikian dinyatakan dalam al Quran:

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً اُخْرَى.
“Dari bumi (tanah) Itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain”. (QS. Thoha: 55)

Badan yang saat ini kita jaga dengan membersihkannya setiap hari dan membungkusnya dengan pakaian yang indah dilengkapi perhiasan yang membuat orang terkesima melihatnya diberikan makanan dan minuman yang bergizi agar badan kita tetap sehat. Suatu saat akan menemui ajal yang membuat badan kita tidak berdaya dan kembali kepada asal kejadiannya dari sari pati tanah.

اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Kaum Muslimin dan  Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Pulang secara spiritual adalah kembalinya jiwa manusia yang suci kepada dzat Allah disertai keridoan-Nya kemudian dipanggil sebagai hamba-Nya dan diperintahkan masuk kedalam surga-Nya.

يَأيّهاَ النّفْسُ الْمُطْمَئِنّة. إرْجِعِى إلَى رَبّكَ رَاضِيَةً مَرْضِية. فَادْخُلِى فِى عِبَادى. وَادْخُلِى جَنّتِى.
“Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya. Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr: 26-30)

Puasa yang kita lakukan selama ini merupakan usaha agar jiwa kita menjadi tenang dan fitri dengan mengendalikan dan mengarahkan nafsu, puasa dapat mengendalikan nafsu dari segala hal yang diperbolehkan dan dilarang. Kebiasaan seperti ini harus dijaga dan dilaksanakan seumur hidup sampai menemui ajal (kematian). Puasa Ramadan jangan hanya dijadikan media latihan tanpa menghasilkan keberhasilan yang sesungguhnya. Selesai Ramadan selesai pula pengendalian nafsunya hal ini yang menyebabkan banyaknya orang berpuasa hanya merasakan lapar dan haus saja.

Pulang kampung yang sesungguhnya adalah kembalinya jiwa manusia dalam kondisi tenang (fitrah) sehingga termasuk kedalam golongan hamba-hamba Allah dan masuk kedalam surga Allah. Janganlah kita menyia-nyiakan kesempatan untuk beramal sholeh, jangan pernah menunda dengan berkata besok saja, nanti saja, tenang saja dan lain sebagainya. Kita tidak pernah tahu apakah kesempatan tersebut masih ada dalam waktu mendatang dan kita juga tidak pernah tahu kapan kembali (pulang) kepada Allah.

وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ بِأيّ أرْضٍ تَمُوْتُ إنّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.
“Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman: 34).


اَللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ وَلِلهِ اْلحَمْدُ
Hadirin Kaum Muslimin dan  Muslimat Jama’ah Idil Fitri Rahimakumullah !

Dalam melakukan perjalanan pulang kampung terkadang ada orang yang selamat sampai tujuan, bertemu sanak saudara, saling memaafkan dan menyebarkan kasih sayang. Ada pula yang celaka di perjalanan akibat kelalaian dirinya sehingga sampai ke kampung halaman dalam kondisi sakit dan menderita. Begitu juga pulang kepada Allah ada orang yang merasakan kenikmatan surga dan keridoan Allah ada juga orang yang pulang kepada Allah dalam kondisi merasakan penderitaan begitu dahsyat.

Oleh karenanya, sebelum kita pulang kepada Allah hendaklah mempersiapkan diri dan membekalinya dengan taqwa. Taqwa merupakan bekal yang paling baik untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

وَتَزَوّدُوْا فَإنّ خَيْرَ زَادِ التّقْوَى وَاتّقُوْنِ يَأوْلِى الألْبَابِ.
“Dan berbekallah, Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal”. (QS. Al Baqarah: 197).

Semoga Allah menjadikan kita manusia yang pulang kampung dalam kondisi tenang dan masuk kedalam surga Allah atas keridoan-Nya. Amin ya Robbal ‘Alamin.

جَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ اْلعَائِدِيْنَ وَاْلفَائِزِيْنَ وَاْلمَقْبُوْلِيْنَ وَاَدْخَلَنَا وَاِيَّاكُمْ فِى زُمْرَةِ عِبَادِاللهِ الصَّالِحِيْنَ. اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرّحْمنِ الرّحِيْمِ. وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ ربِّهِ ونَهَيَ النَّفْسَ عَنِ اْلَهوَى فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ اْلمَأْوَى.  بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ لِى وَلَكُمْ وَلِوَالِدَيْنَا وَلِسَائِرِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA

اللهُ اَكْبَرْ (3×) اللهُ اَكْبَرْ (4×) اللهُ اَكْبَرْ كبيرا وَاْلحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَ أَصْيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَالللهُ اَكْبَرْ اللهُ اَكْبَرْ وَللهِ اْلحَمْدُ. اْلحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ تَعْظِيْمًا لِشَأْنِهِ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمَ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَزَجَرَ.وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ


Jumat, 03 Juli 2015

Isra Mi'roj dan 7 Lapis Langit

Isra’ miraj adalah sebuah perjalanan spiritual lintas langit yang menakjubkan. Sebuah perjalanan dari bumi menembus tujuh lapis langit. Bagaimana persepsi anda tentang langit? Seberapa besar, seberapa jauh? Dimana letaknya? Berapa lama untuk mengarunginya? Nah, hikmah yang mesti kita ambil dari peristiwa isra miraj yang mengarungi tujuh langit adalah agar pemahaman kita lebih baik akan makna “Allah Maha Besar.” Langit adalah benda penuh misteri. Namun setidaknya, kita dapat menangkap sedikit informasi tentang langit sebagaimana yang tersebut oleh penciptanya dalam al Quran.

Setidaknya ada dua buah versi pemahaman manusia tentang langit: Langit Sughro (Langit Kecil) dan Langit Kubro (Langit Besar).

1.        Langit Sughro

Langit sughro adalah langit kecil, yaitu atmosfer yang menyelubungi bumi. Inilah pemahaman tentang langit versi pertama. Pemahaman ini berdasar pada ayat-ayat Al Quran sbb:

“Dialah yang menurunkan air hujan dari langit” (Al An’am: 99)
“Demi langit, dzat yang mengembalikan” (At Thariq: 11)
“dan langit sebagai atap…” (Al Baqarah : 22)
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” (Al Mulk: 3)

Keempat informasi tentang langit dalam ayat-ayat di atas, sama dengan ciri-ciri atmosfer bumi kita, yaitu:

1)      Atmosfer terdiri atas 7 lapis yaitu: Troposfer, Stratosfer, Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer dan Eksosfer.
2)      Hujan turun dari awan yang membawa uap air. Ayat yang mengatakan “menurunkan air hujan dari langit”, menjelaskan bahwa posisi awan berada di langit, yaitu troposfer (lapisan atmosfer yang pertama).
3)      Atmosfer juga berfungsi sebagai atap pelindung dari benda-benda asing seperti batu meteor yang jatuh ke bumi. Benda asing yang menuju bumi akan terbakar karena gaya gesek berkecepatan tinggi dengan atmosfer. Selain itu, atomosfer juga melindungi dari sinar UV yang berbahaya bagi manusia. Itulah fungsi atmosfer sebagai atap, persis seperti yang tertuang dalam ayat yang mengatakan bahwa langit sebagai atap.
4)      Atmosfer juga berfungsi sebagi dzat yang mengembalikan (At Thariq 11). Ionosfer adalah lapisan atmosfer yang berfungsi untuk memantulkan gelombang radio. Gelombang pemancar radio dari bumi naik ke atas, dan oleh Ionosfer dikembalikan lagi ke bumi. Itulah mengapa kita dapat mendengarkan siaran radio dari belahan bumi lain seperti BBC London, Bens Radio, Elshinta dsb. Hujan, juga pada dasarnya merupakan proses pengembalian air ke bumi. Uap air dari bumi naik ke atmosfer, lalu dikembalikan lagi ke bumi. Jelasnya, atmosfer berfungsi sebagai lapisan yang “mengembalikan” sebagaimana dalam ayat “Demi langit, dzat yang mengembalikan”.

2.        Langit Kubro

Selain pemahaman tentang langit yang diartikan sebagai atmosfer bumi, langit adalah alam semesta yang lebih luas dari sekedar atmosfer. Hal ini tertuang dalam ayat:
“Dan Kami hiasai langit yang dekat dengan bintang-bintang” (QS Al Mulk: 5)
“Demi langit yang mengandung bintang-bintang” (QS Al Buruj: 1)

Bintang terletak di luar atmosfer bumi. Matahari adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, dan jauh lebih besar dari bumi. Bintang-bintang di alam semesta membentuk kelompok bintang yang disebut dengan Galaksi. Galaksi kita bernama Bima Sakti yang memuat sekitar 100 milyard bintang-bintang. Bentuknya seperti cakram dengan diameter 80.000 tahun perjalanan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik. Jadi, 80.000 tahun cahaya = 80.000 x 365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km… subhanallah….

Lebih mengagumkan lagi, ternyata galaksi juga jumlahnya luar biasa banyak. Sekitar 100 milliar galaksi akan membentuk cluster galaksi. Bayangkan, betapa besarnya cluster galaksi ini! Anda bisa hitung berapa banyak bintang-bintang yang ada di sebuah cluster galaksi? Subhanallah… Inilah bukti kebesaran Allah.

Cluster galaksi pun banyak jumlahnya. Nah, bintang-bintang yang tak terhitung banyaknya itulah yang menempati langit (QS Al Buruj: 1). Subhanallah, betapa luasnya langit…

Tentang Tujuh Langit

Sang Maha Pencipta secara tegas menginformasikan bahwa langit berjumlah tujuh. Untuk pemahaman langit versi pertama (Langit sughro), yang mendefinisikan langit adalah atmosfer, maka jelas bahwa yang dimaksud tujuh langit adalah lapisan-lapisan atmosfer yang berjumlah tujuh buah itu. Bagaimana dengan tujuh langit kubro? Inilah yang masih menjadi misteri besar bagi manusia. Ada beberapa pemahaman tentang ini. Ada yang memahami bahwa langit kubro ini juga secara fisik berlapis-lapis, sebagaimana langit sughro. Ada juga yang memahaminya bukan sebagai lapisan fisik, tapi lapisan dimensi sebagaimana terdapat dalam buku Terpesona di Sidratil Muntaha, karya Agus Mustofa.

Jika langit kubro pertama yang kita tempati berdimensi 3, maka langit ke-2, 3, 4, 5, 6, 7 adalah alam berdimensi 4, 5, 6, 7. Pemahaman versi ini mengatakan bahwa manusia hidup di langit dimensi 3, jin hidup di alam langit dimensi 4, arwah orang awam hidup di alam langit dimensi 5, arwah para nabi, aulia, dan syuhada, hidup di alam langit dimensi yang lebih tinggi tergantung kedudukannya. Waktu peristiwa isra mi’raj, Nabi Muhammad bertemu dengan beberapa nabi di berbagai lapisan langit. Nabi Muhammad bertemu Nabi Ibrahim di langit ke tujuh, bertemu Nabi Musa di langit ke enam. Juga bertemu dengan Nabi Adam, Nabi Yusuf di lapisan langit-langit lainnya. (Agus Mustafa, Terpesona di Sidratil Muntaha).

Penghuni langit berdimensi lebih rendah tidak dapat melihat penghuni langit berdimensi lebih tinggi. Tapi penghuni langit berdimensi lebih tinggi dapat melihat penghuni langit yang berdimensi lebih rendah. Itulah sebabnya Manusia (umumnya) tidak dapat melihat jin tapi jin dapat melihat manusia. Kita tidak bisa mendengar rintihan arwah yang sedang disiksa, tapi arwah dapat mendengar bunyi alas kaki para pengantar jenazahnya.

Yang dimaksud 7 lapisan langit di sini bukan berarti langit tersebut menumpuk secara berlapis-lapis seperti kue lapis, tapi ketujuh lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat dimensinya.
Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama (dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Secara analog, kita bisa membuat perumpamaan sebagai berikut :
  
Penjelasan gambar:
Pada gambar 1 tampak bahwa sebuah garis berdimensi 1 tersusun dari titik-titik dalam jumlah tak terbatas. Kemudian garis-garis tersebut disusun dalam jumlah tak terbatas hingga menjadi sebuah luasan berdimensi 2 (Gambar 2). Dan jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas dalam jumlah yang tak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang berdimensi 3).
Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas. Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi. Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini – dengan jumlah tak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Langit pertama

Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3, yakni manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain yang tinggal di bumi beserta benda-benda angkasa lainnya dalam jumlah yang tak terbatas. Namun hanya satu lapisan ruang berdimensi 3 yang diketahui berpenghuni, dan bersama-sama dengan ruang berdimensi 3 lainnya, alam semesta kita ini menjadi penyusun langir kedua yang berdimensi 4.

Langit kedua

Ruang berdimensi 4 yang dihuni oleh bangsa jin beserta makhluk berdimensi 4 lainnya. Ruang berdimensi 4 ini bersama-sama dengan ruang berdimensi 4 lainnya membentuk langit yang lebih tinggi, yaitu langit ketiga.

Langit ketiga

Ruang berdimensi 5 yang di dalamnya “hidup” arwah dari orang-orang yang sudah meninggal. Mereka juga menempati langit keempat sampai dengan langit keenam. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang berdimensi 9.

Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu. Karena ia adalah jumlah kelipatan tak terbatas dari langit dunia (langit pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:
“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah akhirat”.

Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut menggambarkan dua hal:
1.        Ukuran alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
2.        Keberadaan alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian dari alam akhirat, hanya ukurannya yang tak terbatas kecilnya. Begitu juga dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di alam dunia hanyalah sedikit sekali.

Berbagai ruang dimensi dan interaksi antar makhluk penghuninya

1.        Langit pertama atau langit dunia

Seperti disebutkan pada ayat 11-12 Surat Fushshilat, maka yang disebut langit yang dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta. Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster. Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya. Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami bumi, planet anggota tata surya. Langit pertama ini tidak terbatas namun berhingga. Artinya batasan luasnya tidak diketahui tapi sudah bisa dipastikan ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuhnya.


Penjelasan gambar:
Apabila digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling, akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi yang melengkung seperti permukaan balon itu. Jadi penggambarannya sangat sulit sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar memudahkan penjelasannya.

2.        Langit kedua

Seperti diterangkan sebelumnya bahwa setiap lapisan langit tersusun secara dimensional. Diasumsikan bahwa pertambahan dimensi setiap lapisan adalah 1 dimensi. Jadi apabila langit pertama atau langit dunia kita ini berdimensi 3, maka langit kedua berdimensi 4. Langit kedua ini dihuni oleh makhluk berdimensi 4, yakni bangsa jin.

Penjelasan gambar:
Apabila digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan bola berdimensi 2 adalah alam dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di dalam balon yang berdimensi 3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat. Deskripsi lain adalah seperti gambar berikut:

Bayangkanlah permukaan tembok dan sebuah ruangan yang dikelilingi oleh dinding-dindingnya. Umpamakan ada dua jenis makhluk yang tinggal di sana. Makhluk pertama adalah makhluk bayang-bayang yang hidup di permukaan tembok berdimensi 2. Sedangkan makhluk kedua adalah makhluk balok berdimensi 3. Ingatlah analogi alam berdimensi 3 dengan makhluk manusianya adalah permukaan tembok dan makhluk bayang-bayangnya, sedangkan alam berdimensi 4 dan makhluk jinnya adalah ruangan berdimensi 3 dengan baloknya.
Tampak dengan mudah dilihat bahwa kedua alam berdampingan dan kedua makhluk hidup di alam yang berbeda. Kedua makhluk juga mempunyai dimensi yang berbeda, bayang-bayang berdimensi 2 sedangkan balok berdimensi 3. Makhluk berdimensi 2, yaitu bayang-bayang tidak bisa memasuki ruangan berdimensi 3, dia tetap berada di tembok, sedangkan makhluk berdimensi 3 yakni balok dapat memasuki alam berdimensi 2, yakni tembok. Bagaimanakah caranya balok bisa memasuki dinding yang berdimensi 2?
Balok yang berdimensi 3 memiliki permukaan berdimensi 2 yakni bagian sisi-sisinya. Apabila si balok ingin memasuki alam berdimensi dua, dia cukup menempelkan bagian sisinya yang berdimensi 2 ke permukaan tembok. Bagian sisi balok sudah memasuki alam berdimensi 2 permukaan tembok. Bagian sisi balok ini dapat dilihat oleh makhluk bayang-bayang di tembok sebagai makhluk berdimensi 2 juga. Analoginya adalah jin yang dilihat oleh kita penampakannya di alam dunia sebenarnya berdimensi 4 tetapi oleh indera kita dilihat sebagai makhluk berdimensi 3 seperti tampaknya sosok kita manusia.

3.        Langit ketiga sampai dengan langit ketujuh

Langit ketiga sampai dengan keenam dihuni oleh arwah-arwah, sedangkan langit ke tujuh adalah alam akhirat dengan surga dan nerakanya. Analoginya sama dengan langit kedua di atas, karena pengetahuan kita hanya sampai kepada alam berdimensi 3

 Informasi di dalam al Quran Tentang Tujuh Langit

Al Quran menuturkan kepada kita tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam ayat-ayat berikut:

1.        Qs. Al Baqarah: 29. “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
2.        Qs. Al Israa: 44. “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.
3.        Qs. Fushshilat: 12. “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.
4.        Qs. Al Mulk: 3. “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
5.        Qs. Ath Thalaaq:12. “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

Ayat-ayat tersebut di atas bericara tentang bilangan langit, yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al Quran dan kamus-kamus bahasa Arab. Selain itu, ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa bumi itu menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.

Informasi dalam Sunnah Tentang Tujuh Langit

Seandainya kita meneliti hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita menemukan sebuah hadits yang menegaskan keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian yang lain. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah, maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi”. (HR Bukhari). Kata menimbun dalam hadits tersebut diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara bahasa berarti meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya adalah: Bukankah hal ini merupakan mukjizat Nabi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini telah menentukan bilangan lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk lapisan itu, yaitu meliputi dan menyelubungi. Bahkan hadits ini memuat sinyal tentang bentuk bulat atau semi-bulat. Al Quran dan Sunnah telah mendahului ilmu pengetahuan modern dalam mengungkapkan fakta ilmiah ini. Selain itu, al Quran juga telah memberi kita penjelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan menggunakan kata thibaqan. Meski Rasulullah Muhammad SAW memiliki banyak mukjizat fisik seperti menyembuhkan orang lumpuh, membelah bulan, berbicara dengan binatang seperti Nabi Sulaiman, para sahabat berjalan di atas laut, memberi makan ribuan orang dengan sedikit makanan, dan masih sekitar 300 mukjizat lainnya, tapi tetaplah Qur’an ialah Mukjizat terbesar sepanjang masa.
Itulah mengapa al Quran disebut mukjizat terbesar sepanjang masa kerana banyak ayat Quran yang dapat dibuktikan oleh peralatan modern abad terahir. Mulai dari Astronomi, Geology, Biology, Math, chemistry, Oceanography dan segala bidang. Sebuah Mukjizat terbesar berupa kitab yang diturunkan melalui seorang Al Amin (tak pernah berbohong) yang tak dapat membaca di zaman kuno kepada ummat terakhir yang pintar dan selalu membaca buku di zaman modern dan baru dapat dibuktikan oleh peralatan akhir zaman. Siapa lagi yg mewahyukan jika bukan Pencipta Alam Semesta (Allah)?.
  
Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis” yakni sebagian diantaranya berada di atas sebagian yang lain tanpa bersentuhan. Dalam pengertian ini, Allah telah menciptakan langit dengan berlapis-lapis yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena dalam perkembangan dan pengetahuan yang telah terkumpulkan bahwa langit yang ketujuh itu terletak di super galaksi yang banyak sekali gumpalan-gumpalan meteor dan banyak galaksi yang terkumpul di dalamnya.

Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Bir Ra’yi

Dalam al Quran juga telah dipaparkan dengan secara rinci, yaitu dalam surat Mulk: 3-4.

“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikitpun ketidak seimbangan. Maka ulangilah pandangan itu adakah engkau melihat sedikitpun keretakan? Kemudian ulangilah pandangan itu dua kali niscaya akan kembali kepadamu pandangan itu kecewa, dan ia menjadi lelah.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang telah menciptakan tujuh langit berlapis lapis serasi dan sangat harmonis. Engkau siapa pun engkau kini dan masa datang tidak melihat pada ciptaan Allah yang kecil maupun yang besar ketidaksinambungan.

Sab’a samawat/tujuh langit dipahami oleh para ulama dalam arti planet-planet yang mengitari tata surya selain bumi karena itulah dapat terjangkau oleh pandangan mata serta pengetahuan manusia, paling tidak saat turunnya al Quran. Hemat penulis QS. Al Mulk:3-4 dapat dipahami juga lebih umum, karena angka tujuh bisa merupakan angka yang menggantikan kata banyak.

Dalam al Quran, diungkapkan juga dalam surat Hud: 7.

“Sesungguhnya Allah telah menentukan keterangan-keterangan dari seluruh makhluk, seluruhnya Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu. Dan ‘Arsy-Nya adalah di atas air”.
Ayat ini telah memberikan isyarat, bahwasannya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diatur terlebih dahulu sampai kepada hal yang kecil, 50.000 tahun sebelum tujuh langit dan bumi dijadikan. Maka bertambah dapat dipahami bahwa menciptakan tujuh langit di serambi bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu, hanya Allah yang Maha mengetahuinya. Itu juga dijelaskan dalam ayat ini, bahwasannya di bawah naungan langit yang tinggi, di atas dihamparan bumi yang luas manusia hidup untuk diuji, siapakah yang lebih baik amalnya.

Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer

Menarik menyimak argumentasi para peminat astronomi tentang makna sab’a samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan eksistensi lapisan-lapisan langit. Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada langit pertama, kemudian disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus pada langit kedua sampai ketujuh. Konsep geosentris tersebut yang dipadukan dengan astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep tujuh hari dalam sepekan.

Benda-benda langit itu dianggap mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam secara bergantian dari yang terjauh ke yang terdekat. Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan sebagai hari Sabtu (Saturday — hari Saturnus — atau Doyobi dalam bahasa Jepang yang secara jelas menyebut nama hari dengan nama benda langitnya). Pada jam 00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada matahari. Jadilah hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya. Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday, getsuyobi, Senin), hari Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi, Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.

Pemahaman tentang tujuh langit sebagai tujuh lapis langit dalam konsep keislaman bukan sekadar pengaruh konsep geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah berarti tumbuhan sidrah yang tak terlampaui, suatu perlambang batas yang tak ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam al Quran dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha.

Secara sekilas kisah mi’raj di dalam hadits shahih disebutkan sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit kedua sampai ketujuh. Di langit kedua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya, di langit ketiga ada Nabi Yusuf, di langit keempat ada Nabi Idris, di langit ke lima ada Nabi Harun, di langit keenam ada Nabi Musa, dan di langit ketujuh ada Nabi Ibrahim.

Di langit ketujuh dilihatnya baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi. Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (pena). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia yaitu sungai Efrat di Iraq dan sungai Nil di Mesir. Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam al Quran surat An Najm ayat 13-15. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.

Langit (samaa’ atau samawat) di dalam al Quran berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi. Ada yang berpendapat lapisan itu ada dengan berdalil pada surat al Mulk 3 dan surat Nuh ayat 15. sab’a samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan “tujuh langit berlapis-lapis” atau “tujuh langit bertingkat-tingkat”. Walaupun demikian, itu tidak bermakna tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas yang lain.

“Bertingkat-tingkat” berarti jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak seperti titik-titik pada gambar di kertas.

Lalu apa makna tujuh langit bila bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam al Quran ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam matematika dikenal istilah “tak terhingga” dalam suatu pendekatan limit, yang berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan “tujuh” dalam beberapa ayat al Quran.

Misalnya, di dalam QS. Luqman: 27 diungkapkan, “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah.” Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya. Sama halnya dalam QS. At Taubah: 80: “…Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun….” Jelas, ungkapan “tujuh puluh” bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali. Jadi, ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Kemudian apa makna langit pertama, kedua, sampai ketujuh dalam kisah mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra’ mi’raj adalah langit ghaib. Dalam kisah mi’raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi, menurut penulis bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib sependapat dengan Muhammad Rasyid Ridha.

Dalam bahasa al Quran, kata sab’a (tujuh) tidak selalu berarti sebuah bilangan bulat antara 6 dan 8. Kata sab’a terkadang menunjukkan jumlah yang banyak sekali. Misalnya “tujuh lautan” surat Luqman ayat 27, menunjukkan jumlah yang banyak artinya: andai sebanyak apa pun lautan dijadian tinta, ia tak akan sanggup menuliskan semua ilmu Allah. Fakta menarik: kata “tujuh langit” muncul tujuh kali dalam dua redaksi: sab’a samawat:
1.        QS. Al Baqarah ayat 29.
2.        QS. Al Isra ayat 44.
3.        QS. Al Mu’minun ayat 86.
4.        QS. Fushshilat ayat 12.
5.        QS. Ath Thalaaq ayat 12.
6.        QS. Al Mulk ayat 3.
7.        QS. Nuh ayat 15.

Bagaimanapun, Tentang 7 Langit Adalah Misteri. Hanya Sang Khalik Yang Tahu Pasti. WALLAHU A’LAM BISH SHOWAB.

Referensi:
Hamka, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional, 1993.
Tafsir Jalalain jilid 2.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Al ‘Alim: Al Quran Edisi Ilmu Pengetahuan Munasabah, hlm. 562
Tujuh langit tidak berarti tujuh lapis. http://media.isnet.org/isnet/Djamal/langitdl.html
http://serpihanfb.mywapblog.com/menyingkap-misteri-7-lapisan-langit-dan.xhtml