Minggu, 26 Juli 2015

SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH, MA'RIFAH

SYARI’AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA’RIFAH


1.        Syari’ah
Adalah hukum Islam yaitu Al Quran dan sunnah Nabawiyah/Al Hadist yang merupakan sumber acuan utama dalam semua produk hukum Islam, yang selanjutnya menjadi Madzhab-madzhab ilmu fiqih, aqidah dan berbagai disiplin ilmu dalam Islam yang dikembangkan oleh para ulama dengan memperhatikan atsar para shahabat, ijma’ dan kiyas. Dalam hasanah ilmu keislaman terdapat 62 madzhab fiqih yang dinyatakan mu’tabar (shahih dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya) oleh para ulama. Sedangkan dalam hasanah ilmu tauhid (keimanan), juga dikenal dengan ilmu kalam. Ahirnya umat Islam terpecah menjadi 73 golongan/firqah dalam konsep keyakinan. Perbedaan ini terdiri dari perbedaan tentang konsep-konsep, menyangkut keyakinan tentang Allah Swt, para malaikat, kitab kitab Allah, para nabi dan rasul, hari Qiamat dan taqdir.

Namun dalam masalah keimanan berbeda dengan fiqih. Dalam fiqih masih ada toleransi atas perbedaan selama perbedaan tersebut tetap merujuk pada Al Quran dan Sunnah Nabi serta sudah teruji kebenarannya dan diakui kemu’tabarannya oleh para ulama yang kompeten. Akan tetapi dalam konsep keimanan, dari 73 golongan yang ada, hanya satu golongan yang benar dan menjadi calon penghuni surga, yaitu golongan yang konsisten/istiqamah berada di bawah panji tauhidnya Rasulullah Saw dan Khulafa Ar Rasyidiin Al Mahdiyyin yang selanjutnya dikenal dengan Ahlu As Sunnah wal Jama’ah.

2.        Thariqah
Adalah jalan/cara/metode implementasi syari’ah. Yaitu cara/metode yang ditempuh oleh seseorang dalam menjalankan syari’ah Islam, sebagai upaya pendekatannya kepada Allah Swt. Orang yang berthariqah adalah orang yang melaksanakan hukum syari’ah, lebih jelasnya syari’ah adalah hukum dan thariqah adalah prakteknya/pelaksanaan dari hukum itu sendiri. 

Thariqah ada dua macam, pertama thariqah ‘aam adalah melaksanakan hukum Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah, menjauhi semua larangan agama Islam dan anjuran-anjuran sunnah serta berbagai ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada bimbingan khusus dari guru/mursyid. Kedua thariqah khos yaitu melaksanakan hukum syari’ah Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru/mursyid. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaannya yang baik dan benar. Sedangkan bimbingan batin adalah tarbiyah rohani dari sang guru/mursyid dengan izin bai’ah khusus yang sanadnya sambung sampai pada Nabi Muhammad Saw. Thariqah Khos lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah/Thariqah al Auliya. Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai pada Rasulullah berjumlah 360 thariqah. Dalam riwayat lain mengatakan 313 thariqah. Sedang yang masuk ke Indonesia dan direkomendasikan oleh Nahdlatul Ulama berjumlah 44 thariqah, dikenal dengan Thariqah Al Mu’tabaroh An Nahdliyah dengan wadah organisasi yang bernama Jam’iyah Ahlu Al Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah. Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :
ان شريعتي جا ئت على ثلاث مائة وستين طريقة ما سلك احد طريقة منها الاّ نجا .( ميزان الكبرى للامام الشعرني, جز:1/30)

“Sesungguhnya syariatku datang dengan membawa 360 thariqah (metoda pendekatan pada Allah), siapapun yang menempuh salah satunya pasti selamat”. (Mizan Al Qubra: Juz. 1 hlm. 30).

Dalam riwayat hadits yang lain dinyatakan bahwa :
ان شريعتي جائت على ثلاث مائة وثلاث عشرة طريقة لا تلقى العبد بها ربنا الا دخل الجنة ( رواه الطبرني)
“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR. Thabrani).
Terlepas dari perbedaan redaksi dan jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits di atas, mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus percaya akan adanya thariqah sebagaimana direkomendasi oleh hadits tersebut. Kalau tidak percaya berarti tidak percaya dengan salah satu hadits Nabi Saw yang Al Amiin (terpercaya dan tidak pernah bohong). Lalu bagaimana hukumnya tidak percaya pada hadits Nabi yang shahih?

Dari semua thariqah sufiyah yang ada dalam Islam, pada perinsip pengamalannya terbagi menjadi dua macam. Yaitu thariqah mujahadah dan thariqah mahabbah. Thariqah mujahadah adalah thariqah (metode) pendekatan kepada Allah Swt dengan mengandalkan kesungguhan dalam beribadah, sehingga melalui kesungguhan beribadah tersebut diharapkan secara bertahap seorang hamba akan mampu menapaki jenjang demi jenjang martabat (maqamat) untuk mencapai derajat kedekatan di sisi Allah Swt dengan sedekat-dekatnya. Sedangkan thariqah mahabbah adalah thariqah yang mengandalkan rasa syukur dan cinta, bukan banyaknya amalan yang menjadi kewajiban utama. Dalam perjalanannya menuju hadirat Allah Swt seorang hamba memperbanyak ibadah atas dasar cinta dan syukur terhadap limpahan rahmat dan nikmat Allah Swt, tidak ada target martabat (maqamat) dalam mengamalkan kewajiban dan berbagai amalan sunah dalam hal ini. Tapi melaksanakan ibadah secara ikhlas tanpa memikirkan pahala, baik pahala dunia maupun pahala akhirat, kerinduan hamba yang penuh cinta pada Allah akan terobati. Yang terpenting dalam thariqah mahabbah bukan kedudukan (jabatan) di sisi Allah tetapi menjadi kekasih yang cinta dan dicintai oleh Allah Swt. Habibullah adalah kedudukan Nabi Muhammad Saw. (Adam Shafiyullah, Ibrahim Khalilullah, Musa Kalimullah, Isa Ruhullah sedangkan Nabi Muhammad Saw Habibullah). Satu satunya thariqah yang menggunakan metode mahabbah adalah Thariqah At Tijany.

Nama-nama thariqah yang masuk ke Indonesia dan telah diteliti oleh para Ulama NU yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyah dan dinyatakan Mu’tabar (benar sanadnya sambung sampai pada Rasulullah Saw), antara lain:
1.         Umariyah                              23.  Usysyaqiyyah
2.         Naqsyabandiyah                   24.  Bakriyah
3.         Qadiriyah                              25.  Idrusiyah
4.         Syadziliyah                           26.  Utsmaniyah
5.         Rifaiyah                                27.  ‘Alawiyah
6.         Ahmadiyah                           28.  Abbasiyah
7.         Dasuqiyah                             29.  Zainiyah
8.         Akbariyah                             30.  Isawiyah
9.         Maulawiyah                          31.  Buhuriyyah
10.     Kubrawiyyah                        32.  Haddadiyah
11.     Sahrowardiyah                      33.  Ghaibiyyah
12.     Khalwatiyah                         34.  Khodiriyah
13.     Jalwatiyah                             35.  Syathariyah
14.     Bakdasiyah                           36.  Bayumiyyah
15.     Ghazaliyah                            37.  Malamiyyah
16.     Rumiyah                               38.  Uwaisiyyah
17.     Sa’diyah                                39.  Idrisiyah
18.     Jusfiyyah                               40.  Akabirul Auliya’
19.     Sa’baniyyah                          41.  Subbuliyyah
20.     Kalsaniyyah                          42.  Matbuliyyah
21.     Hamzaniyyah                        43.  Tijaniyah
22.     Bairumiyah                           44.  Sammaniyah.
(Diambil dari buku hasil keputusan Kongres & Mubes Jam’iyah Ahli Thariqah Mu’tabaroh An Nahdliyah, pada hasil Mu’tamar kedua di Pekalongan tanggal 8 Jumadil Ula 1379 H/9 November 1959. halaman 25).

3.        Haqiqah
Yaitu sampainya seseorang yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. di depan pintu gerbang kota tujuan, yaitu tersingkapnya hijab-hijab pada pandangan hati seorang salik (hamba yang mengadakan pengembaraan batin) sehingga dia mengerti dan menyadari sepenuhnya hakekat dirinya selaku seorang hamba di depan Tuhannya selaku Al Khaliq. Bertolak dari kesadaran inilah, ibadah seorang hamba pada level ini menjadi berbeda dengan ibadah orang kebanyakan. Kebanyakan manusia beribadah bukan karena Allah Swt, tapi justru karena adanya target-target hajat duniawi (pahala dunia) yang ingin mereka dapatkan, ada juga yang lebih baik sedikit niatnya, yaitu mereka yang mempunyai target hajat ukhrawi (pahala akhirat) dengan kesenangan surgawi yang kekal.

Sedangkan golongan Muhaqqiqiin tidak seperti itu, mereka beribadah dengan niat semata-mata karena Allah Swt, sebagai hamba yang baik mereka senantiasa menservis majikan/tuannya dengan sepenuh hati dan kemampuannya, tanpa mengharapkan gaji/pahala. Yang terpenting baginya adalah ampunan dan keridhaan Tuhannya. Tujuan mereka adalah Allah Swt bukan benda-benda dunia atau akhirat termasuk surga sebagaimana tujuan ibadah orang kebanyakan.

4.        Ma’rifah
Adalah tujuan akhir seorang hamba yang mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yaitu masuknya seorang salik kedalam istana suci kerajaan Allah Swt. (wusul ilallah). sehingga dia benar-benar mengetahui dengan pengetahuan langsung dari Allah Swt. baik tentang Tuhannya dengan segala keagungan Asma-Nya, Sifat-sifat-Nya, Af’al-Nya dan Dzat-Nya. Juga segala rahasia penciptaan mahluk di alam raya ini. Para ‘Arifiin tujuan dan cita-cita ibadahnya jauh lebih tinggi lagi, Mereka bukan hanya ingin Allah Swt dengan ampunan dan keridhaan-Nya, tetapi lebih jauh mereka menginginkan kedudukan yang terdekat dengan Al Khaliq, yaitu sebagai hamba-hamba yang cinta dan dicintai oleh Allah Swt.

Kesimpulan:
Syari’ah bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara haqiqah ibarat ruh yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah. Syari’ah laksana baju sedangkan haqiqah ibarat badan.

Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syari’ah dan haqiqah secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada pernyataan cukup terkenal, “Haqiqah tanpa syari’ah adalah kepalsuan, sedangkan syari’ah tanpa haqiqah adalah sia-sia.” Imam Malik berkata, “Barangsiapa bersyari’ah tanpa berhaqiqah, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedangkan berhaqiqah tanpa bersyari’ah, niscaya ia akan menjadi zindik. Barangsiapa menghimpun keduanya (syari’ah dan haqiqah), ia benar-benar telah berhaqiqah.”

Syari’ah adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk dijadikan pedoman manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis dalam Al Quran hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang merupakan orang paling dekat dengan Allah Swt dan paling memahami Al Quran menjelaskan aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikannya sebagai pedoman kedua yang dikenal dengan sebutan hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.

Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling memahami Nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman dengan Nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan kedalam bentuk hukum-hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad, menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang. Sumber hukum Islam kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al Quran, Hadist, Ijmak dan Qiyas, yang dikenal dengan syari’ah Islam.

Untuk melaksanakan syari’ah Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat sesuai dengan yang diperintahkan Allah Swt dan yang dilakukan Rasulullah Saw sehingga hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah Swt memerintahkan shalat, kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan dan dilaksanakan oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang 13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh umat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifah yaitu hamba bisa memandang dzat Allah Swt.

Ketika memulai shalat dengan Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin.. “Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya dzat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik”. Seharusnya seorang hamba sudah menemukan chanel atau gelombang kepada Allah Swt, menemukan dzat yang Maha Agung, sehingga dia tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Allah Swt. Terkadang ada orang dengan mudah menuduh musyrik kepada orang lain, tanpa sadar dia hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang hadir dalam shalat dzat-dzat lain selain Allah Swt. Kalau dzat Tuhan sudah ditemukan di awal shalat maka ketika sampai kepada bacaan Al Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat akrab antara hamba dengan Tuhannya.

Syari’ah tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syari’ah hanya berupa hukum atau aturan. Untuk bisa melaksanakan syari’ah dengan benar, ruh ibadah harus hidup, diperlukan metodologi pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Thariqatullah (jalan kepada Allah) yang kemudian disebut dengan Thariqah. Thariqah pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang mengamalkan dzikir. Nama thariqah diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah. Munculnya perkumpulan thariqah dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti nasehat Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”.

Kalau ajaran-ajaran agama yang dikenal dengan syari’ah tidak dilaksanakan dengan metode yang benar (thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerakan kosong belaka, badan bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.

Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat, seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu pemilik ka’bah, pemilik dunia akhirat, Tuhan alam semesta, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding-dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah adalah proses menunggu, menunggu Tuhan yang dirindukan oleh hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia, namun yang ditunggu tak pernah muncul.

Disini sebenarnya letak kehilapan orang Islam di seluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syari’ah dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syari’ah dengan benar yaitu thariqah. Ketika ilmu thariqah dilupakan bahkan sebagian orang menganggap ilmu warisan Nabi ini sebagai bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat bukannya mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. Al Ankabut: 45) tetapi ancaman kecelakaan (QS. Al Ma’un: 4-7). Harus diingat bawah “Lalai” yang dimaksud dalam ayat tersebut bukan sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah Swt. Bagaimana mungkin dalam shalat bisa mengingat Allah kalau di luar shalat tidak dilatih berdzikir (mengingat) Allah? dan bagaimana mungkin seseorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al A’la, “Beruntunglah orang yang telah disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhannya dan kemudian menegakkan shalat”. (QS. Al A’la: 14-15).

Sebagian ulama memberi gambaran tentang keterkaitan syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah dengan ibarat buah kelapa. Syari’ah ibarat kulitnya, Thariqah ibarat tempurungnya, Haqiqah ibarat isinya dan Ma’rifah ibarat minyaknya. Keempatnya saling terkait menjadi satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan. Artinya untuk mendapatkan ma’rifah, harus melalui proses melalui syari’ah, thariqah dan haqiqah. Syari’ah sebagai dasar hukumnya, thariqah sebagai pelaksanaannya, haqiqah sebagai hasilnya dan ma’rifah sebagai manfaatnya. Barangsiapa yang mengamalkan fiqih (syari’ah) tanpa bertasawwuf (thariqah) maka dia adalah fasiq. Dan barangsiapa yang mengamalkan tasawwuf (thariqah) tanpa mengamalkan fiqih (syari’ah) maka dia adalah zindiq (penyeleweng). Haqiqah tanpa syari’ah adalah batal, dan syari’ah tanpa haqiqah adalah tiada berarti.

Perumpamaan yang agak dekat dengan masalah ini adalah ibarat satu jenis makanan (misalnya nasi rawon). Resep masakan nasi rawon yang menjelaskan bahan-bahan dan cara membuat nasi rawon sama dengan syari’ah. Bimbingan praktek memasak nasi rawon sama dengan thariqah. Resep dan praktek masak nasi rawon bisa melalui buku dan mempraktekkannya sendiri disebut thariqah ‘am sedangkan resep dan praktek serta bimbingan masak nasi rawon dengan cara kursus pada juru masak yang ahli disebut thariqah khusus. Makan nasi rawon dan menjelaskan rasanya yang enak disebut haqiqah dan tidak ada buku panduannya, demikian juga makan nasi rawon dan mengetahui secara detail rasanya, aromanya, kelebihan dan kekurangannya disebut ma’rifah. Haqiqah dan ma’rifah ini tidak ada buku/kitabnya.

Syari’ah adalah Pandangan Hidup (syara’), Pegangan Hidup (syari’ah), dan Perjuangan Hidup (manhaj) yang diwahyukan Allah Swt untuk seluruh umat manusia, agar diketahui, dipatuhi, dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupannya. Sebagai pandangan hidup seorang muslim yang Islam oriented akan selalu setia pada syari’ah dalam berbagai persoalan hidupnya dengan senantiasa berpedoman kepada Al Quran dan Sunah Nabi. Firman Allah Swt:

Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (QS. Asy Syura: 13).

Yang dimaksud : “agama” dalam ayat tersebut ialah meng-Esakan Allah Swt, beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya.

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariah (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariah itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jatsiyah: 18).

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS Al Maidah: 48).

Sebagai pegangan hidup, syari’ah diturunkan Allah Swt ke dunia ini dengan Ilmu-Nya yang tidak terbatas. Oleh karenanya, syari’ah bersifat universal. Kemudian, Allah mengutus Rasulullah Saw. sebagai Rahmatan Lil Alamiin (QS. Al Furqan: 1) dan yang memberi peringatan (memberlakukan syari’ah) kepada seluruh alam. (QS. Al Anbiya: 107). Sebagai perjuangan hidup, Al Quran, As Sunnah, dan ijtihad sebagai sumber syari’ah meliputi prinsip dasar (Iman/Aqidah/Islam /Ibadah, dan Ihsan/Akhlak) serta norma-norma hukum Islam.

Menurut Syaikh Athaillah As Sakandary dan para sufi, bahwa amal perbuatan terdiri atas tiga bagian, yaitu Amal Syari’ah, Amal Thariqah, dan Amal Haqiqah atau Amal Islam, Amal Iman, dan Amal Ihsan atau Amal Ibadah, Amal Ubudiyyah, dan Amal Ubudah atau Amal Ahli Bidayah (tahap pemula), Amal ahli Wasath (tahap pertengahan), dan Amal Ahli Nihayah (tahap akhir). Syari’ah untuk memperbaiki zawahir atau zawarih (anggota badan), thariqah untuk memperbaiki dhamair (hati), dan haqiqah untuk memperbaiki sarair (ruh).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dengan tiga perkara yaitu Ikhlas, Sidiq, dan Thuma’ninah (ketenangan). Dan memperbaiki ruh juga dengan tiga perkara, yaitu Muraqabah (waspada/merasa diawasi/seolah-olah melihat Allah Swt), Musyahadah (menyaksikan Asma, Sifat, dan Af’al Allah Swt), dan Ma’rifah (mengenal Allah Swt).

Memperbaiki zahir (anggota badan) dengan menjauhi larangan Allah Swt dan mengikuti perintah-Nya. Memperbaiki hati dengan menjauhi sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat utama. Memperbaiki ruh dengan menghinakannya dan menundukkannya sehingga menjadi terdidik adab, tawadu’, dan berbudi.

Ahli syari’ah ialah orang yang melaksanakan amal ibadah lithalabil ujur (karena mengharapkan upah atau pahala dari Allah Swt). Ahli thariqah masih dalam perjalanan antara syari’ah dan haqiqah. Sedangkan ahli haqiqah ialah orang-orang yang melaksanakan ibadah (pengabdian kepada Allah Swt) semata-mata karena mengikuti perintah Allah Swt.

Syaikh Athaillah As Sakandariyah berkata “Orang yang telah sampai pada haqiqah Islam maka ia tidak kuasa menghindari melaksanakan syari’ah. Orang yang telah sampai pada haqiqah iman maka ia tidak kuasa berpaling kepada amal perbuatan atas dasar selain Allah Swt. Dan orang yang telah sampai pada haqiqah ihsan maka ia tidak kuasa berpaling kepada segala apapun selain Allah Swt.

Menurut Syaikh Ali bin al Haitamy “Syari’ah ialah apa yg berkaitan dengan taklif (pembebanan suatu ibadah), sedangkan haqiqah ialah apa yang dapat menghasilkan mengenal Allah. Syari’ah dikuatkan oleh haqiqah dan haqiqah terikat dengan syari’ah. Syari’ah adalah sebagai wujud perbuatan Allah Swt dan melaksanakannya dengan syarat disertai ilmu melalui perantaraan para rasul sedangkan haqiqah ialah menyaksikan hal ihwal mengenal Allah Swt. dan menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya tanpa ada perantaraan”.

Syaikh al Arif Billah Sayyid Ibrahim ad Dasuqi al Quraisy berkata “Syari’ah ibarat pohon dan haqiqah ibarat buahnya. Ahli Syari’ah akan batal shalatnya dengan bacaan yang buruk, sedangkan ahli haqiqah akan batal shalatnya dengan akhlak yang buruk. Jadi apabila di dalam batinnya terdapat kedengkian atau iri hati, buruk sangka kepada seseorang, mencintai dunia, dan lain sebagainya maka shalatnya batal. Karena sesungguhnya pemilik akhlak buruk itu berada pada hijab (terhalang) dari menyaksikan keagungan Allah Swt di dalam shalat. Dan orang yang hatinya terhijab maka ia tidak shalat, karena sesungguhnya shalat adalah sebuah hubungan makhluk dengan Allah Swt”.

Untuk mencapai haqiqah (inti) kita harus mampu menghancurkan kulit, yang mengandung pengertian bahwa paham eksoterisme (perwujudan), melampaui batas-batas pemahaman esoteric (bersifat khusus/rahasia), karena esensi melampaui bentuk-bentuk luaran yang mana ia tidak dapat direduksikan (dikurangi) kepada bentuk luaran yang bersifat eksoterik (pengetahuan yang boleh diketahui oleh siapa saja).

Secara sederhana kita ambil contoh ibadah shalat. Syari’ahnya adalah memenuhi kewajiban sesuai dengan firman Allah Swt:

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa: 103).

Thariqahnya adalah memberi pengaruh pada sikap dan membekas pada perbuatan, salah satunya tidak berbuat keji dan munkar.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Ankabut: 45).

Orang yang shalat tanpa thariqah maka termasuk orang yang lalai efeknya adalah mendapat kecelakaan serta berbuat riya dan tidak mau menolong.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al Ma’un: 4-6)

Haqiqahnya adalah dzikir kepada Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14).

Ma’rifahnya adalah mi'raj ruhani kehadirat Ilahi. “Shalat adalah mi'rajnya orang-orang yang beriman”. (HR Baihaqi dan Muslim).

Ma’rifah adalah mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, baik Asma-Nya, Sifat-Nya, maupun Af'al-Nya). Firman Allah Swt:

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka Katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?". Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (QS. Yunus: 31-32).


Sebenarnya tidak ada pemisahan antara keempat ilmu Syari’ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifah, keempatnya adalah satu. Iman dan Islam bisa dijelaskan dengan ilmu syari’ah sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu thariqah. Ketika kita telah mencapai tahap ma’rifah maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas bahwa keempat ilmu tersebut tidak terpisah. Seperti wujud gula dan manisnya yang tidak dapat dipisahkan jika ada yang merasakan gula pahit maka ada masalah dengan lidahnya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar