Minggu, 12 April 2015

PENGERTIAN LAILATUL QADAR

Perdebatan di seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat Islam, hingga kini belum menemukan titik-temu yang cukup memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat Islam terhadap momentum Nuzulul Quran yang diperingati setiap tahun pada bulan Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan terjadi secara pasti pada tanggal 17 Ramadhan, yang oleh karenanya diyakini bahwa pada saat itulah (wahyu) al-Quran pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan Lailatul Qadar? Disinilah persoalan penting - kontroversi - yang semestinya segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari para ulama yang kompeten untuk menjawabnya.
Salah satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah Lailah al-Qadr (secara populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti di Jawa tempo dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadar. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiriah dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan “musnah”, tanpa guna.
Jadi pertanyaan adalah apakah Lailatul Qadar terjadi sekali saja yakni malam ketika turunya al Quran 15 abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan setiap tahun?. Apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya dan benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kedatangannya?
Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadar dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadar dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi. Sedang dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai sebagai “malam kemuliaan”.
Dalam al-Quran penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadar itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam Surat al Qadr (QS 97: 1-5):
“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Rûh (yang dalam hal ini ialah Rûh Qudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas, adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar. Menurut Ibn Abbas - sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir - yang dimaksud ialah diturunkannya al Quran itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lauh al-Mahfûzh (Papan Yang Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit terendah yakni samâ’ al dunyâ (langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al Quran juga disebutkan di bagian lain dalam al Quran sebagai malam yang diberkati (Lailah Mubarakah), dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al Quran, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan yang salah). Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadar dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al Quran, yang biasa disebut sebagai malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia).
Menurut sejarah yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al Quran: Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al Anfal/8:41).

Penjelasan:  Yang dimaksud dengan rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i. pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam surat al-Hasyr. Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut bertempur. Yang dimaksud dengan apa Ialah: ayat-ayat Al Quran, Malaikat dan pertolongan. Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di peprangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17 Ramadhan.
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran.
Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah hari “Perang Badar”. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara kebetulan Proklamasi Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat). Pada Perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut hari yang menentukan (yaum al furqân) karena perang itu adalah yang pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman, para pengikut beliau, dengan kemenangan (yang) telak, kemenangan yang benar (al haq), tauhîd, atas yang palsu (al bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tetapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar yang demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran, adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai umat Islam, berdasarkan keterangan Nabi s.a.w., dalam hadis, bahwa Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana diantara malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya (malam) Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar umat Islam tidak mengkhususkan dalam memperbanyak ibadah hanya dalam satu malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam sepuluh malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah itu. Tetapi, karena perbedaan tersebut, maka di Indonesia ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negara Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah Sesutu yang berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al Quran dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al Quran itu bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al Quran, yang kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di dalam al Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu yang dalam perspektif dakwah “baik”, dan oleh karenanya layak dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan social keagamaan kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari titik temu, sehingga tidak ‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai peringatan Nuzûlul Qurân setiap tahun .
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT (terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al Quran itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al Quran ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui cukup otoritatif oleh sebagian peminat studi al Quran, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan (yaum al furqân) itu adalah al Quran itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al Quran.
Dalam Surat al Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahnya: “pada malam itu, turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud "Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al Quran yang juga memiliki otoritas, mengartikan Rûh dalam firman Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi) dalam “makna” yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Wallâhu A’lam.
Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan dan kebesaran, Karena pada malam itulah permulaan turunnya (wahyu) al-Quran.
QS al-Dukhân, 44: 3
QS al-Baqarah, 2: 185.
QS al-Anfâl, 8: 41.
Makna barakah dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan bersifat kontinyu atau berkesinambungan.
            Dari al Quran ditemukan penjelasan bahwa wahyu Allah diturunkan pada Lailatul Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat bahwa al Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah Nabi Muhammad wafat maka berdasarkan logika tersebut ada sebagian umat Islam yang berpendapat Lailatul Qadar tidak akan hadir lagi. Namun pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama karena mereka berpegang pada teks al Quran dan Hadits Nabi bahwa Lailatul Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Nabi bersabda

تَحَرّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فىِ الْوِتْرِ مِنْ عُشُرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ (رواه البخارى عن عائشة)
Hadits tersebut menganjurkan agar umat mempersiapkan jiwa mereka menyambut Lailatul Qadar khusus pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Penjelasan tersebut diperkuat dengan kalimat mudhari’ (present tense) dalam ayat 4 surat al Qadar yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadi sesuatu pada masa kini dan masa dating (dalam ilmu nahwu disebut zaman hal dan zaman istiqbal).
Jika membaca sejarah Nabi beliau pertama kali menemui Lailatul Qadar adalah saat beliau sedang menyendiri di Gua Hira, merenung tentang dirinya dan masyarakat, saat jiwa Nabi telah sampai pada kesuciannya turunlah Ar Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing Nabi sehingga terjadi perubahan total dalam perjalanan hidupnya bahkan perjalanan hidup manusia. Berdasarkan sejarah tersebut maka menurut hemat saya Lailatul Qadar tidak serta merta menemui atau ditemui oleh orang yang hanya mempersiapkan diri ketika malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Namun jauh dari itu Lailatul Qadar hanya akan menemui dan ditemui oleh orang yang sejak awal kehidupannya sudah mempersiapkan diri dengan menyucikan jiwanya. Pendapat tersebut bukan berarti mengucilkan usaha orang yang beri’tikaf pada malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan namun menganjurkan agar kita selalu menyucikan jiwa selama perjalanan hidup ini agar kita siap menerima segala hal yang suci dari Allah SWT.
Mengenai tanda-tanda fisik Lailatul Qadar ada banyak riwayat menjelaskan kedatngannya diantaranya:
وَأمّارَتُهَا أنْ تَصْبِحَ الشّمْسُ فىِ صَبِيْحَةِ يَوْمِهَا بَيْضًا وَلاَشِعَاعَ لَهَا
Tanda kehadiran Lailatul Qadar adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar (HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
وَأمّارَتُهَا أنّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَانَ فِيْهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةً لَابُرْدَ فِيْهَا وَلَا حَرّ.....
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas…(HR. Ahmad dan Hambal).
Sayyid Abu Bakar menjelaskan bahwa jika awal Ramadhan dimulai pada hari ahad atau rabu maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 29 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari senin maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 21 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari selasa atau jum’at maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 27 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari kamis maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 25 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari sabtu maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 30 Ramadhan. (baca I’anatuth Thalibin, jilid. 2 bab lailatul qadar).


Referensi:
Tafsir Ibnu Katsir, jilid. 2
Tafsir Ash Shawi, jilid. 2
Tafsir An Nawawi, jilid. 1
Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid. 1
I’anatuth Thalibin, jilid. 2

Wawasan al Quran, Qurasih Shihab.