Isra’ miraj adalah sebuah
perjalanan spiritual lintas langit yang menakjubkan. Sebuah perjalanan dari
bumi menembus tujuh lapis langit. Bagaimana persepsi anda tentang langit?
Seberapa besar, seberapa jauh? Dimana letaknya? Berapa lama untuk mengarunginya?
Nah, hikmah yang mesti kita ambil dari peristiwa isra miraj yang mengarungi
tujuh langit adalah agar pemahaman kita lebih baik akan makna “Allah Maha
Besar.” Langit adalah benda penuh misteri. Namun setidaknya, kita dapat
menangkap sedikit informasi tentang langit sebagaimana yang tersebut oleh
penciptanya dalam al Quran.
Setidaknya ada dua buah versi pemahaman manusia tentang
langit: Langit Sughro (Langit Kecil) dan Langit Kubro (Langit Besar).
1.
Langit Sughro
Langit sughro adalah langit kecil, yaitu atmosfer yang
menyelubungi bumi. Inilah pemahaman tentang langit versi pertama. Pemahaman ini
berdasar pada ayat-ayat Al Quran sbb:
“Dialah yang menurunkan air hujan dari langit” (Al
An’am: 99)
“Demi langit, dzat yang mengembalikan” (At Thariq: 11)
“dan langit sebagai atap…” (Al Baqarah : 22)
“yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis”
(Al Mulk: 3)
Keempat informasi tentang langit dalam ayat-ayat di
atas, sama dengan ciri-ciri atmosfer bumi kita, yaitu:
1) Atmosfer terdiri atas 7 lapis yaitu: Troposfer, Stratosfer,
Ozonosfer, Mesosfer, Termosfer, Ionosfer dan Eksosfer.
2) Hujan turun dari awan yang membawa uap air. Ayat yang mengatakan
“menurunkan air hujan dari langit”, menjelaskan bahwa posisi awan berada di
langit, yaitu troposfer (lapisan atmosfer yang pertama).
3) Atmosfer juga berfungsi sebagai atap pelindung dari benda-benda
asing seperti batu meteor yang jatuh ke bumi. Benda asing yang menuju bumi akan
terbakar karena gaya gesek berkecepatan tinggi dengan atmosfer. Selain itu,
atomosfer juga melindungi dari sinar UV yang berbahaya bagi manusia. Itulah
fungsi atmosfer sebagai atap, persis seperti yang tertuang dalam ayat yang
mengatakan bahwa langit sebagai atap.
4) Atmosfer juga berfungsi sebagi dzat yang mengembalikan (At
Thariq 11). Ionosfer adalah lapisan atmosfer yang berfungsi untuk memantulkan
gelombang radio. Gelombang pemancar radio dari bumi naik ke atas, dan oleh
Ionosfer dikembalikan lagi ke bumi. Itulah mengapa kita dapat mendengarkan
siaran radio dari belahan bumi lain seperti BBC London, Bens Radio, Elshinta
dsb. Hujan, juga pada dasarnya merupakan proses pengembalian air ke bumi. Uap
air dari bumi naik ke atmosfer, lalu dikembalikan lagi ke bumi. Jelasnya,
atmosfer berfungsi sebagai lapisan yang “mengembalikan” sebagaimana dalam ayat
“Demi langit, dzat yang mengembalikan”.
2.
Langit Kubro
Selain pemahaman tentang langit yang diartikan sebagai
atmosfer bumi, langit adalah alam semesta yang lebih luas dari sekedar
atmosfer. Hal ini tertuang dalam ayat:
“Dan Kami hiasai langit yang dekat dengan
bintang-bintang” (QS Al Mulk: 5)
“Demi langit yang mengandung bintang-bintang” (QS Al
Buruj: 1)
Bintang terletak di luar atmosfer bumi. Matahari
adalah bintang yang paling dekat dengan bumi, dan jauh lebih besar dari bumi.
Bintang-bintang di alam semesta membentuk kelompok bintang yang disebut dengan
Galaksi. Galaksi kita bernama Bima Sakti yang memuat sekitar 100 milyard
bintang-bintang. Bentuknya seperti cakram dengan diameter 80.000 tahun
perjalanan cahaya. Kecepatan cahaya adalah 300.000 km/detik. Jadi, 80.000 tahun
cahaya = 80.000 x 365 x 24 x 60 x 60 x 300.000 km… subhanallah….
Lebih mengagumkan lagi, ternyata galaksi juga
jumlahnya luar biasa banyak. Sekitar 100 milliar galaksi akan membentuk cluster
galaksi. Bayangkan, betapa besarnya cluster galaksi ini! Anda bisa hitung
berapa banyak bintang-bintang yang ada di sebuah cluster galaksi? Subhanallah…
Inilah bukti kebesaran Allah.
Cluster galaksi pun banyak jumlahnya. Nah, bintang-bintang
yang tak terhitung banyaknya itulah yang menempati langit (QS Al Buruj: 1).
Subhanallah, betapa luasnya langit…
Tentang Tujuh Langit
Sang Maha Pencipta secara tegas
menginformasikan bahwa langit berjumlah tujuh. Untuk pemahaman langit versi
pertama (Langit sughro), yang mendefinisikan langit adalah atmosfer, maka jelas
bahwa yang dimaksud tujuh langit adalah lapisan-lapisan atmosfer yang berjumlah
tujuh buah itu. Bagaimana dengan tujuh langit kubro? Inilah yang masih menjadi
misteri besar bagi manusia. Ada beberapa pemahaman tentang ini. Ada yang memahami
bahwa langit kubro ini juga secara fisik berlapis-lapis, sebagaimana langit
sughro. Ada juga yang memahaminya bukan sebagai lapisan fisik, tapi lapisan
dimensi sebagaimana terdapat dalam buku Terpesona di Sidratil Muntaha, karya
Agus Mustofa.
Jika langit kubro pertama yang
kita tempati berdimensi 3, maka langit ke-2, 3, 4, 5, 6, 7 adalah alam
berdimensi 4, 5, 6, 7. Pemahaman versi ini mengatakan bahwa manusia hidup di
langit dimensi 3, jin hidup di alam langit dimensi 4, arwah orang awam hidup di
alam langit dimensi 5, arwah para nabi, aulia, dan syuhada, hidup di alam
langit dimensi yang lebih tinggi tergantung kedudukannya. Waktu peristiwa isra
mi’raj, Nabi Muhammad bertemu dengan beberapa nabi di berbagai lapisan langit.
Nabi Muhammad bertemu Nabi Ibrahim di langit ke tujuh, bertemu Nabi Musa di
langit ke enam. Juga bertemu dengan Nabi Adam, Nabi Yusuf di lapisan langit-langit
lainnya. (Agus Mustafa, Terpesona di Sidratil Muntaha).
Penghuni langit berdimensi lebih
rendah tidak dapat melihat penghuni langit berdimensi lebih tinggi. Tapi
penghuni langit berdimensi lebih tinggi dapat melihat penghuni langit yang berdimensi
lebih rendah. Itulah sebabnya Manusia (umumnya) tidak dapat melihat jin tapi
jin dapat melihat manusia. Kita tidak bisa mendengar rintihan arwah yang sedang
disiksa, tapi arwah dapat mendengar bunyi alas kaki para pengantar jenazahnya.
Yang dimaksud 7 lapisan langit di sini bukan berarti
langit tersebut menumpuk secara berlapis-lapis seperti kue lapis, tapi ketujuh
lapisan tersebut semakin meningkat kedudukannya sesuai dengan bertambah tingkat
dimensinya.
Pertambahan tingkat dimensi ketujuh lapisan langit
tersebut hanya bisa digambarkan dengan memproyeksikannya ke langit pertama
(dimensi ruang yang dihuni oleh kita) yang berdimensi tiga. Karena hanya ruang
berdimensi tiga inilah yang bisa difahami oleh kita. Secara analog, kita bisa
membuat perumpamaan sebagai berikut :
Penjelasan gambar:
Pada gambar 1 tampak bahwa sebuah garis berdimensi 1
tersusun dari titik-titik dalam jumlah tak terbatas. Kemudian garis-garis
tersebut disusun dalam jumlah tak terbatas hingga menjadi sebuah luasan
berdimensi 2 (Gambar 2). Dan jika luasan-luasan serupa ini ditumpuk ke atas
dalam jumlah yang tak terbatas, maka akan terbentuk sebuah balok (ruang
berdimensi 3).
Kesimpulannya adalah sebuah ruang berdimensi tertentu
tersusun oleh ruang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang tidak terbatas.
Atau dengan kata lain ruang yang berdimensi lebih rendah dalam jumlah yang
tidak terbatas akan menyusun menjadi ruang berdimensi yang lebih tinggi.
Misalnya, ruang 3 dimensi – dimensi ruang yang sekarang dihuni oleh kita ini –
dengan jumlah tak terbatas menyusun menjadi satu ruang berdimensi empat.
Berdasarkan kesimpulan di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Langit pertama
Ruang berdimensi 3 yang dihuni oleh makhluk berdimensi 3,
yakni manusia, binatang, tumbuhan dan lain-lain yang tinggal di bumi beserta
benda-benda angkasa lainnya dalam jumlah yang tak terbatas. Namun hanya satu
lapisan ruang berdimensi 3 yang diketahui berpenghuni, dan bersama-sama dengan
ruang berdimensi 3 lainnya, alam semesta kita ini menjadi penyusun langir kedua
yang berdimensi 4.
Langit kedua
Ruang berdimensi 4 yang dihuni oleh bangsa jin beserta
makhluk berdimensi 4 lainnya. Ruang berdimensi 4 ini bersama-sama dengan ruang
berdimensi 4 lainnya membentuk langit yang lebih tinggi, yaitu langit ketiga.
Langit ketiga
Ruang berdimensi 5 yang di dalamnya “hidup” arwah dari
orang-orang yang sudah meninggal. Mereka juga menempati langit keempat sampai
dengan langit keenam. Langit ketiga ini bersama-sama dengan langit ketiga
lainnya menyusun langit keempat dan seterusnya hingga langit ketujuh yang
berdimensi 9.
Bisa dibayangkan betapa besarnya langit ketujuh itu.
Karena ia adalah jumlah kelipatan tak terbatas dari langit dunia (langit
pertama) yang dihuni oleh manusia. Berarti langit dunia kita ini berada dalam
struktur langit yang enam lainnya, termasuk langit yang ketujuh ini. Jika alam
akhirat, surga dan neraka terdapat di langit ke tujuh, maka bisa dikatakan
surga dan neraka itu begitu dekat dengan dunia kita tapi berbeda dimensi.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa langit dunia kita ini
merupakan bagian dari struktur langit ketujuh. Berarti alam dunia ini merupakan
bagian terkecil dari alam akhirat. Penjelasan ini sesuai dengan hadist Nabi:
“Perbandingan antara alam dunia dan akhirat adalah
seperti air samudera, celupkanlah jarimu ke samudera, maka setetes air yang ada
di jarimu itu adalah dunia, sedangkan air samudera yang sangat luas adalah
akhirat”.
Perumpamaan setetes air samudera di ujung jari tersebut
menggambarkan dua hal:
1.
Ukuran
alam dunia dibandingkan alam akhirat adalah seumpama setetes air di ujung jari
dengan keseluruhan air dalam sebuah samudera. Hal ini adalah penggambaran yang
luar biasa betapa luasnya alam akhirat itu.
2.
Keberadaan
alam dunia terhadap alam akhirat yang diibaratkan setetes air berada dalam
samudera. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa alam dunia merupakan bagian
dari alam akhirat, hanya ukurannya yang tak terbatas kecilnya. Begitu juga
dengan kualitas dan ukuran segala hal, baik itu kebahagiaan, kesengsaraan, rasa
sakit, jarak, panas api, dan lain sebagainya, di mana ukuran yang dirasakan di
alam dunia hanyalah sedikit sekali.
Berbagai ruang dimensi dan interaksi antar makhluk
penghuninya
1.
Langit pertama atau langit dunia
Seperti
disebutkan pada ayat 11-12 Surat Fushshilat, maka yang disebut langit yang
dekat tersebut adalah langit dunia kita ini atau disebut juga alam semesta kita
ini. Digambarkan bahwa langit yang dekat itu dihiasi dengan bintang-bintang
yang cemerlang, dan memang itulah isi yang utama dari alam semesta.
Bintang-bintang membentuk galaksi dan kluster hingga superkluster.
Planet-planet sesungguhnya hanyalah pecahan dari bintang-bintang itu. Seperti
tata surya kita, matahari adalah sebuah bintang dan sembilan planet yang
mengikatinya adalah pecahannya, atau pecahan bintang terdekat lainnya.
Sedangkan tokoh utama di langit pertama ini adalah kita manusia yang mendiami
bumi, planet anggota tata surya. Langit pertama ini tidak terbatas namun
berhingga. Artinya batasan luasnya tidak diketahui tapi sudah bisa dipastikan
ada ujungnya. Diperkirakan diameter alam semesta mencapai 30 miliar tahun
cahaya. Artinya jika cahaya dengan kecepatannya 300 ribu km/detik melintas dari
ujung yang satu ke ujung lainnya, maka dibutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk
menempuhnya.
Penjelasan
gambar:
Apabila
digambarkan bentuknya kira-kira seperti sebuah bola dengan bintik-bintik di
permukaannya. Di mana bintik-bintik tersebut adalah bumi dan benda-benda
angkasa lainnya. Apabila kita berjalan mengelilingi permukaan bola berkeliling,
akhirnya kita akan kembali ke titik yang sama. Permukaan bola tersebut adalah
dua dimensi. Sedangkan alam semesta yang sesungguhnya adalah ruang tiga dimensi
yang melengkung seperti permukaan balon itu. Jadi penggambarannya sangat sulit
sekali sehingga diperumpamakan dengan sisi bola yang dua dimensi agar
memudahkan penjelasannya.
2.
Langit kedua
Seperti
diterangkan sebelumnya bahwa setiap lapisan langit tersusun secara dimensional.
Diasumsikan bahwa pertambahan dimensi setiap lapisan adalah 1 dimensi. Jadi
apabila langit pertama atau langit dunia kita ini berdimensi 3, maka langit
kedua berdimensi 4. Langit kedua ini dihuni oleh makhluk berdimensi 4, yakni
bangsa jin.
Penjelasan gambar:
Apabila
digambarkan posisi langit kedua terhadap langit pertama adalah seperti gambaran
balon pertama tadi. Di mana bagian permukaan bola berdimensi 2 adalah alam
dunia kita yang berdimensi 3, sedangkan ruangan di dalam balon yang berdimensi
3 adalah langit kedua berdimensi 4. Jadi apabila kita melintasi alam dunia
harus mengikuti lengkungan bola, akibatnya perjalanan dari satu titik ke titik
lainnya harus menempuh jarak yang jauh. Sedangkan bagi bangsa jin yang
berdimensi 4 mereka bisa dengan mudah mengambil jalan pintas memotong di tengah
bola, sehingga jarak tempuh menjadi lebih dekat. Deskripsi lain adalah seperti
gambar berikut:
Bayangkanlah
permukaan tembok dan sebuah ruangan yang dikelilingi oleh dinding-dindingnya.
Umpamakan ada dua jenis makhluk yang tinggal di sana. Makhluk pertama adalah
makhluk bayang-bayang yang hidup di permukaan tembok berdimensi 2. Sedangkan
makhluk kedua adalah makhluk balok berdimensi 3. Ingatlah analogi alam
berdimensi 3 dengan makhluk manusianya adalah permukaan tembok dan makhluk
bayang-bayangnya, sedangkan alam berdimensi 4 dan makhluk jinnya adalah ruangan
berdimensi 3 dengan baloknya.
Tampak
dengan mudah dilihat bahwa kedua alam berdampingan dan kedua makhluk hidup di
alam yang berbeda. Kedua makhluk juga mempunyai dimensi yang berbeda,
bayang-bayang berdimensi 2 sedangkan balok berdimensi 3. Makhluk berdimensi 2,
yaitu bayang-bayang tidak bisa memasuki ruangan berdimensi 3, dia tetap berada
di tembok, sedangkan makhluk berdimensi 3 yakni balok dapat memasuki alam
berdimensi 2, yakni tembok. Bagaimanakah caranya balok bisa memasuki dinding
yang berdimensi 2?
Balok
yang berdimensi 3 memiliki permukaan berdimensi 2 yakni bagian sisi-sisinya.
Apabila si balok ingin memasuki alam berdimensi dua, dia cukup menempelkan
bagian sisinya yang berdimensi 2 ke permukaan tembok. Bagian sisi balok sudah
memasuki alam berdimensi 2 permukaan tembok. Bagian sisi balok ini dapat
dilihat oleh makhluk bayang-bayang di tembok sebagai makhluk berdimensi 2 juga.
Analoginya adalah jin yang dilihat oleh kita penampakannya di alam dunia
sebenarnya berdimensi 4 tetapi oleh indera kita dilihat sebagai makhluk
berdimensi 3 seperti tampaknya sosok kita manusia.
3.
Langit ketiga sampai dengan langit
ketujuh
Langit ketiga sampai dengan
keenam dihuni oleh arwah-arwah, sedangkan langit ke tujuh adalah alam akhirat
dengan surga dan nerakanya. Analoginya sama dengan langit kedua di atas, karena
pengetahuan kita hanya sampai kepada alam berdimensi 3
Al Quran menuturkan kepada kita
tentang tujuh lapisan langit dan tujuh lapisan bumi di dalam ayat-ayat berikut:
1.
Qs. Al Baqarah: 29. “Dia-lah
Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu”.
2.
Qs. Al Israa: 44. “Langit
yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak
ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.
3.
Qs. Fushshilat: 12. “Maka
Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap
langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang
cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”.
4.
Qs. Al Mulk: 3. “Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang- ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
5.
Qs. Ath Thalaaq:12. “Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.
Ayat-ayat tersebut di atas bericara tentang bilangan langit,
yaitu tujuh, dan bentuk langit, yaitu berlapis-lapis. Inilah arti kata thibaqan
yang kita temukan di dalam kitab-kitab tafsir al Quran dan kamus-kamus bahasa
Arab. Selain itu, ayat-ayat tersebut di atas menegaskan bahwa bumi itu
menyerupai langit, dan hal itu diungkapkan dengan kalimat, ‘Dan seperti itu
pula bumi.’ Sebagaimana langit itu berlapis-lapis, maka begitu pula bumi, dan
masing-masing jumlahnya tujuh lapisan.
Informasi dalam Sunnah Tentang
Tujuh Langit
Seandainya kita meneliti
hadits-hadits Rasulullah saw, maka kita menemukan sebuah hadits yang menegaskan
keberadaan tujuh lapis bumi, maksudnya tujuh lapis yang sebagiannya membungkus sebagian
yang lain. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang menyerobot sejengkal tanah,
maka Allah akan menimbunnya dengan tujuh lapis bumi”. (HR Bukhari). Kata
menimbun dalam hadits tersebut diungkapkan dengan kata thawwaqa yang secara
bahasa berarti meliputinya dari semua sisi.
Pertanyaannya adalah: Bukankah
hal ini merupakan mukjizat Nabi yang besar? Bukankah hadits yang mulia ini
telah menentukan bilangan lapisan bumi, yaitu tujuh, dan menentukan bentuk
lapisan itu, yaitu meliputi dan menyelubungi. Bahkan hadits ini memuat sinyal
tentang bentuk bulat atau semi-bulat. Al Quran dan Sunnah telah mendahului ilmu
pengetahuan modern dalam mengungkapkan fakta ilmiah ini. Selain itu, al Quran
juga telah memberi kita penjelasan yang tepat mengenai struktur bumi dengan
menggunakan kata thibaqan. Meski Rasulullah Muhammad SAW memiliki banyak
mukjizat fisik seperti menyembuhkan orang lumpuh, membelah bulan, berbicara
dengan binatang seperti Nabi Sulaiman, para sahabat berjalan di atas laut, memberi
makan ribuan orang dengan sedikit makanan, dan masih sekitar 300 mukjizat
lainnya, tapi tetaplah Qur’an ialah Mukjizat terbesar sepanjang masa.
Itulah mengapa al Quran disebut
mukjizat terbesar sepanjang masa kerana banyak ayat Quran yang dapat dibuktikan
oleh peralatan modern abad terahir. Mulai dari Astronomi, Geology, Biology,
Math, chemistry, Oceanography dan segala bidang. Sebuah Mukjizat terbesar
berupa kitab yang diturunkan melalui seorang Al Amin (tak pernah berbohong)
yang tak dapat membaca di zaman kuno kepada ummat terakhir yang pintar dan
selalu membaca buku di zaman modern dan baru dapat dibuktikan oleh peralatan
akhir zaman. Siapa lagi yg mewahyukan jika bukan Pencipta Alam Semesta (Allah)?.
Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Klasik
“Yang telah menciptakan tujuh langit
berlapis-lapis” yakni sebagian diantaranya berada di atas sebagian yang lain
tanpa bersentuhan. Dalam pengertian ini, Allah telah menciptakan langit dengan
berlapis-lapis yang mempunyai maksud-maksud tertentu. Karena dalam perkembangan
dan pengetahuan yang telah terkumpulkan bahwa langit yang ketujuh itu terletak
di super galaksi yang banyak sekali gumpalan-gumpalan meteor dan banyak galaksi
yang terkumpul di dalamnya.
Sab’ah Samawaat dalam Tafsir
Bir Ra’yi
Dalam al Quran juga telah
dipaparkan dengan secara rinci, yaitu dalam surat Mulk: 3-4.
“Yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis. Kamu tidak melihat pada ciptaan ar-Rahman sedikitpun
ketidak seimbangan. Maka ulangilah pandangan itu adakah engkau melihat
sedikitpun keretakan? Kemudian ulangilah pandangan itu dua kali niscaya akan
kembali kepadamu pandangan itu kecewa, dan ia menjadi lelah.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa yang
telah menciptakan tujuh langit berlapis lapis serasi dan sangat harmonis. Engkau
siapa pun engkau kini dan masa datang tidak melihat pada ciptaan Allah yang
kecil maupun yang besar ketidaksinambungan.
Sab’a samawat/tujuh langit dipahami
oleh para ulama dalam arti planet-planet yang mengitari tata surya selain bumi
karena itulah dapat terjangkau oleh pandangan mata serta pengetahuan manusia,
paling tidak saat turunnya al Quran. Hemat penulis QS. Al Mulk:3-4 dapat
dipahami juga lebih umum, karena angka tujuh bisa merupakan angka yang
menggantikan kata banyak.
Dalam al Quran, diungkapkan juga
dalam surat Hud: 7.
“Sesungguhnya Allah telah
menentukan keterangan-keterangan dari seluruh makhluk, seluruhnya Dia
menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu. Dan ‘Arsy-Nya
adalah di atas air”.
Ayat ini telah memberikan
isyarat, bahwasannya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk
telah diatur terlebih dahulu sampai kepada hal yang kecil, 50.000 tahun sebelum
tujuh langit dan bumi dijadikan. Maka bertambah dapat dipahami bahwa
menciptakan tujuh langit di serambi bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang
berapa sebenarnya bilangan sehari itu, hanya Allah yang Maha mengetahuinya. Itu
juga dijelaskan dalam ayat ini, bahwasannya di bawah naungan langit yang
tinggi, di atas dihamparan bumi yang luas manusia hidup untuk diuji, siapakah
yang lebih baik amalnya.
Sab’ah Samawaat dalam Tafsir Kontemporer
Menarik menyimak argumentasi para
peminat astronomi tentang makna sab’a samaawaat (tujuh langit). Namun ada kesan
pemaksaan fenomena astronomis untuk dicocokkan dengan eksistensi
lapisan-lapisan langit. Di kalangan mufasirin lama pernah juga berkembang
penafsiran lapisan-lapisan langit itu berdasarkan konsep geosentris. Bulan pada
langit pertama, kemudian disusul Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan
Saturnus pada langit kedua sampai ketujuh. Konsep geosentris tersebut yang
dipadukan dengan astrologi (suatu hal yang tidak terpisahkan dengan astronomi
pada masa itu) sejak sebelum zaman Islam telah dikenal dan melahirkan konsep
tujuh hari dalam sepekan.
Benda-benda langit itu dianggap
mempengaruhi kehidupan manusia dari jam ke jam secara bergantian dari yang
terjauh ke yang terdekat. Bukanlah suatu kebetulan 1 Januari tahun 1 ditetapkan
sebagai hari Sabtu (Saturday — hari Saturnus — atau Doyobi dalam bahasa Jepang
yang secara jelas menyebut nama hari dengan nama benda langitnya). Pada jam
00.00 itu Saturnus yang dianggap berpengaruh pada kehidupan manusia. Bila
diurut selama 24 jam, pada jam 00.00 berikutnya jatuh pada matahari. Jadilah
hari berikutnya sebagai hari matahari (Sunday, Nichyobi). Dan seterusnya.
Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara
berurutan hari-hari itu menjadi hari Bulan (Monday, getsuyobi, Senin), hari
Mars (Kayobi, Selasa), hari Merkurius (Suiyobi, Rabu), hari Jupiter (Mokuyobi,
Kamis), dan hari Venus (Kinyobi, Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi
tujuh hari.
Pemahaman tentang tujuh langit
sebagai tujuh lapis langit dalam konsep keislaman bukan sekadar pengaruh konsep
geosentris lama, tetapi juga diambil dari kisah mi’raj Rasulullah SAW. Mi’raj
adalah perjalanan dari masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha yang secara harfiah
berarti tumbuhan sidrah yang tak terlampaui, suatu perlambang batas yang tak
ada manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah
yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan
dalam al Quran dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul
muntaha.
Secara sekilas kisah mi’raj di
dalam hadits shahih disebutkan sebagai berikut: Mula-mula Rasulullah SAW memasuki
langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang dikanannya berjejer para ruh
ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit
kedua sampai ketujuh. Di langit kedua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya, di
langit ketiga ada Nabi Yusuf, di langit keempat ada Nabi Idris, di langit ke
lima ada Nabi Harun, di langit keenam ada Nabi Musa, dan di langit ketujuh ada Nabi
Ibrahim.
Di langit ketujuh dilihatnya
baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat
hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi. Perjalanan dilanjutkan
ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (pena). Dari
sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di
surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia yaitu sungai Efrat di Iraq dan sungai
Nil di Mesir. Jibril juga mengajak Rasulullah SAW melihat surga yang indah. Inilah
yang dijelaskan pula dalam al Quran surat An Najm ayat 13-15. Di Sidratul
Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya. Puncak dari
perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib.
Langit (samaa’ atau samawat) di
dalam al Quran berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa
luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu, dan gas yang
bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda
langit sama sekali tidak dikenal dalam astronomi. Ada yang berpendapat lapisan
itu ada dengan berdalil pada surat al Mulk 3 dan surat Nuh ayat 15. sab’a
samaawaatin thibaqaa. Tafsir Depag menyebutkan “tujuh langit berlapis-lapis”
atau “tujuh langit bertingkat-tingkat”. Walaupun demikian, itu tidak bermakna
tujuh lapis langit. Makna thibaqaa, bukan berarti berlapis-lapis seperti kulit
bawang, tetapi (berdasarkan tafsir/terjemah Yusuf Ali, A. Hassan, Hasbi
Ash-Shidiq, dan lain-lain) bermakna bertingkat-tingkat, bertumpuk, satu di atas
yang lain.
“Bertingkat-tingkat” berarti
jaraknya berbeda-beda. Walaupun kita melihat benda-benda langit seperti
menempel pada bola langit, sesungguhnya jaraknya tidak sama. Rasi-rasi bintang
yang dilukiskan mirip kalajengking, mirip layang-layang, dan sebagainya
sebenarnya jaraknya berjauhan, tidak seperti titik-titik pada gambar di kertas.
Lalu apa makna tujuh langit bila
bukan berarti tujuh lapis langit? Di dalam al Quran ungkapan ‘tujuh’ atau
‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung banyaknya. Dalam
matematika dikenal istilah “tak terhingga” dalam suatu pendekatan limit, yang
berarti bilangan yang sedemikian besarnya yang lebih besar dari yang kita
bayangkan. Kira-kira seperti itu pula, makna ungkapan “tujuh” dalam beberapa
ayat al Quran.
Misalnya, di dalam QS. Luqman: 27
diungkapkan, “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan
lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis
Kalimat Allah.” Tujuh lautan bukan berarti jumlah eksak, karena dengan delapan
lautan lagi atau lebih kalimat Allah tak akan ada habisnya. Sama halnya dalam QS.
At Taubah: 80: “…Walaupun kamu mohonkan ampun bagi mereka (kaum munafik) tujuh
puluh kali, Allah tidak akan memberi ampun….” Jelas, ungkapan “tujuh puluh”
bukan berarti bilangan eksak. Allah tidak mungkin mengampuni mereka bila kita
mohonkan ampunan lebih dari tujuh puluh kali. Jadi, ‘tujuh langit’ semestinya
dipahami pula sebagai benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan
sebagai lapisan-lapisan langit.
Kemudian apa makna langit pertama,
kedua, sampai ketujuh dalam kisah mi’raj Rasulullah SAW? Muhammad Al Banna dari
Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu
adalah Bintang Syi’ra, yang berarti menafsirkan tujuh langit dalam makna fisik.
Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha juga dari Mesir,
berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah isra’ mi’raj adalah langit ghaib.
Dalam kisah mi’raj itu peristiwa fisik bercampur dengan peristiwa ghaib.
Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua
sungai di bumi, serta melihat Baitur Makmur, tempat ibadah para malaikat. Jadi,
menurut penulis bahwa pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan
langit fisik yang berisi bintang- bintang, tetapi langit ghaib sependapat
dengan Muhammad Rasyid Ridha.
Dalam bahasa al Quran, kata sab’a
(tujuh) tidak selalu berarti sebuah bilangan bulat antara 6 dan 8. Kata sab’a
terkadang menunjukkan jumlah yang banyak sekali. Misalnya “tujuh lautan” surat
Luqman ayat 27, menunjukkan jumlah yang banyak artinya: andai sebanyak apa pun
lautan dijadian tinta, ia tak akan sanggup menuliskan semua ilmu Allah. Fakta
menarik: kata “tujuh langit” muncul tujuh kali dalam dua redaksi: sab’a
samawat:
1.
QS. Al Baqarah ayat 29.
2.
QS. Al Isra ayat 44.
3.
QS. Al Mu’minun ayat 86.
4.
QS. Fushshilat ayat 12.
5.
QS. Ath Thalaaq ayat 12.
6.
QS. Al Mulk ayat 3.
7.
QS. Nuh ayat 15.
Bagaimanapun,
Tentang 7 Langit Adalah Misteri. Hanya Sang Khalik Yang Tahu Pasti. WALLAHU A’LAM
BISH SHOWAB.
Referensi:
Hamka, Tafsir Al Azhar, Singapura:
Pustaka Nasional, 1993.
Tafsir Jalalain jilid 2.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Al ‘Alim: Al Quran Edisi Ilmu Pengetahuan Munasabah, hlm.
562
Tujuh langit tidak berarti tujuh lapis. http://media.isnet.org/isnet/Djamal/langitdl.html
http://serpihanfb.mywapblog.com/menyingkap-misteri-7-lapisan-langit-dan.xhtml