Pengertian
Tawassul
Tawassul adalah mengambil
sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan.
Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan
mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il (An-Nihayah fil Gharibil
Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir). Sedang menurut istilah syari’at,
al-wasilah yang diperintahkan dalam al-Quran adalah segala hal yang dapat
mendekatkan seseorang kepada Allah Ta’ala, yaitu berupa amal ketaatan yang
disyariatkan. (Tafsir Ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103). Allah
berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diti
kepadaNya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya agar kamu beruntung.
(Qs.Al-Maidah:35)
Mengenai ayat di atas Ibnu Abbas
radhiyallahu anhu berkata, Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah al-qurbah
(peribadatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah).
Demikian pula yang diriwayatkan
dari Mujahid, Ibnu Wa’il, al-Hasan, Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid,
dan yang lainnya. Qatadah berkata tentang makna ayat tersebut. Mendekatlah
kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhoi-Nya.
(Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103).
Adapun tawassul (mendekatkan diri
kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam: tawassul sunnah, tawassul
bid’ah, dan tawassul syirik.
1.
Tawassul Sunnah
Pertama: Bertawassul
dengan menyebut asmaul husna yang sesuai dengan hajatnya ketika berdo’a. Allah berfirman,
Hanya milik
Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjaan. (Qs.Al-A’raf:180).
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya,
Ya Allah, aku
memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu, yang Engkau menamakan diri-Mu dengan
nama-nama tersebut, atau yang telah Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu,
atau yang telah Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang masih tersimpan di
sisi-Mu. (HR.Ahmad : 3712).
Kedua:
Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda dalam do’anya,
Wahai Dzat Yag
Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan Rahmat-Mu aku ber
istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku
kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata. (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan
Al-Hakim).
Ketiga:
Bertawassul dengan amal shalih
Sebagaimana
yang disebutkan dalam kitab shahih muslim, sebuah riwayat yang mengisahkan
tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua. Lalu masing-masing bertawassul
dengan amal shalih mereka. Orang pertama bertawassul dengan amal shalihnya
berupa memelihara hak buruh. Orang kedua bertawassul dengan baktinya kepada
kedua orang tuanya. Sedangkan orang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada
Allah Ta’ala, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak dia lakukan.
Akhirnya Allah membukakan pintu gua itu dari batu besar yang menghalanginya,
hingga mereka bertiga pun akhirnya selamat. (HR.Muslim 7125).
Keempat:
Bertawassul dengan meminta do’anya orang shalih yang masih hidup. Dalam sebuah
hadits diceritakan bahwa ada seorang buta yang datang menemui Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, berdo’alah
kepada Allah agar menyembuhkanku (sehingga aku bisa melihat kembali)”. Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Jika Engkau menghendaki aku akan berdo’a
untukmu. Dan jika engkau menghendaki, bersabar itu lebih baik bagimu. Orang
tersebut tetap berkata, Do’akanlah. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna lalu shalat dua rakaat, selanjutnya
beliau menyuruhnya berdo’a dengan mengatakan,
Ya Allah,
sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan aku menghadap kepada-Mu bersama dengan
nabi-Mu, Muhammad, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap bersamamu kepada Tuhanku dalam hajatku ini, agar Dia
memenuhi untukku. Ya Allah jadikanlah ia pelengkap bagi (doaku), dan jadikanlah
aku pelengkap bagi (doamya). Ia (perawi hadits) berkata, Laki-laki itu kemudian
melakukannya, sehingga dia sembuh. (HR.Ahmad dan Tirmidzi).
Kelima: Bertawassul
dengan keimanannya kepada Allah. Allah berfirman:
Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu), Berimanlah
kamu kepada Tuhanmu. Maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan
wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. (Qs.Ali-Imran:193),
Keenam:
Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah. Allah berfirman:
Dan (ingatlah
kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka
bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam
keadaan yang sangat gelap, bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah)
selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang
yang zalim. Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari
kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.
(Qs.Al-Anbiya:87-88).
2.
Tawassul Bid’ah
Pertama: Tawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam atau kedudukan orang selain beliau.
Dalam shahih Bukhari terdapat hadits, Dari Anas bin
Malik, bahwasannya Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu jika terjadi
kekeringan, maka beliau berdo’a agar diturunkan hujan dengan bertawassul
melalui perantaraan (do’a) Al-Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata, Ya Allah
dahulu kami bertawassul dengan nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada
Kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan paman nabi kami, maka turunkanlah
hujan kepada kami. Kemudian turunlah hujan. (HR.Bukhari: 1010).
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam bukanlah bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam atau dengan kedudukannya sebagaimana persangkaan sebagian orang. Akan
tetapi maksudnya adalah bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam. Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah wafat,
para sahabat tidak bertawassul dengan nama atau kedudukan Nabi, akan tetapi
bertawassul dengan do’a paman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yaitu Abbas yang
saat itu masih hidup.
Kedua: Bertawassul dengan cara menyebutkan nama atau
kemuliaan orang shalih ketika berdo’a kepada Allah Ta’ala.
Ini adalah bid’ah bahkan perantara menuju kesyirikan.
Contoh, Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Syaikh Abdul Qadir
Jailani, ampunilah aku.
Ketiga: Bertawassul dengan cara beribadah kepada Allah Ta’ala
di sisi kubur orang shalih. Ini merupakan bid’ah yang diada-adakan, dan bahkan
merupakan perantara menuju kesyirikan.
3.
Tawassul Syirik
Tawassul yang syirik adalah menjadikan orang yang
sudah meninggal sebagai perantara dalam beribadah seperti berdo’a kepada
mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan kepada mereka. Contoh, Ya
Sayyid Al Badawi, mohonlah kepada Allah untuk kami.
Perbuatan ini merupakan syirik akbar dan dosa besar yang
paling besar, meskipun mereka menamakannya dengan tawassul. Hukum syirik ini
dilihat dari hakikatnya yaitu berdo’a kepada selain Allah.
Referensi:
Prinsip-Prinsip Aqidah
Ahlussunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.
Mutiara Faedah Kitab Tauhid, Abu
Isa Abdullah bin Salam.
Khudz Aqidataka minal Kitabi wa
Sunnatis Shahihi, Muhammad bin Jamil Zainu.
Buletin At-Tauhid, Jogjakarta.