Perdebatan di
seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat Islam, hingga kini belum
menemukan titik-temu yang cukup memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat
Islam terhadap momentum Nuzulul Quran yang diperingati setiap tahun pada bulan
Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan terjadi secara pasti pada
tanggal 17 Ramadhan, yang oleh karenanya diyakini bahwa pada saat itulah
(wahyu) al-Quran pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan
Lailatul Qadar? Disinilah persoalan penting - kontroversi - yang semestinya
segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari para ulama yang kompeten
untuk menjawabnya.
Salah satu
momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah Lailah al-Qadr (secara
populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan
berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan
dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi
budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti di Jawa tempo
dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada
tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Ditilik dari
maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus
dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadar. Karena
perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya
kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiriah dan formal saja.
Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan. Setiap
masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup
yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi
seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan “musnah”, tanpa guna.
Jadi pertanyaan
adalah apakah Lailatul Qadar terjadi sekali saja yakni malam ketika turunya al
Quran 15 abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan setiap tahun?.
Apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya dan benarkah ada
tanda-tanda fisik material yang menyertai kedatangannya?
Karena itu
berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadar dan hikmahnya
bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul
Qadar dan Nuzûlul Qurân Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam
Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami
sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan
Lailatul Qadar dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan
Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata
al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan.
Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang
pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi. Sedang
dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai sebagai “malam kemuliaan”.
Dalam al-Quran
penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadar itu dikaitkan dengan
malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam Surat al Qadr (QS 97: 1-5):
“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
“Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”.
Jadi disebutkan
bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik
daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh tahun (kurang lebih umur
maksimal manusia). Karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Rûh
(yang dalam hal ini ialah Rûh Qudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan).
Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam,
khususnya umat manusia. Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh
kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas, adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pengertian seperti di atas, adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pertama ialah
ungkapan bahwa Allah menurunkan al Quran pada Lailatul Qadar. Menurut Ibn Abbas
- sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir - yang dimaksud ialah
diturunkannya al Quran itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna
dari al-Lauh al-Mahfûzh (Papan Yang Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah
Kemuliaan) di langit terendah yakni samâ’ al dunyâ (langit dunia), lalu
diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian
historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al Quran
juga disebutkan di bagian lain dalam al Quran sebagai malam yang diberkati
(Lailah Mubarakah), dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan,
yang padanya diturunkan al Quran, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan
sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda
(antara mana yang benar dan yang salah). Yang sedikit menjadi persoalan ialah,
tanggal berapa Lailatul Qadar dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan?
Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi
nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al Quran, yang
biasa disebut sebagai malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang
kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia).
Menurut sejarah
yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim,
bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam
menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman
dalam al Quran: Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai
harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah,
Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta
orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada
sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang
menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (QS. Al Anfal/8:41).
Penjelasan: Yang dimaksud dengan rampasan perang
(ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui
pertempuran, sedang yang diperoleh tidak dengan pertempuran dinama fa'i.
pembagian dalam ayat ini berhubungan dengan ghanimah saja. Fa'i dibahas dalam
surat al-Hasyr. Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah
dan RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d.
fakir miskin. e. Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan
kepada yang ikut bertempur. Yang dimaksud dengan apa Ialah: ayat-ayat Al Quran,
Malaikat dan pertolongan. Furqaan Ialah: pemisah antara yang hak dan yang
batil. yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan
orang Islam dan kekalahan orang kafir, Yaitu hari bertemunya dua pasukan di
peprangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. sebagian
mufassirin berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan
turunnya Al Quranul Kariem pada malam 17 Ramadhan.
Jadi firman
Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus
dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum
beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang
diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari yang menentukan, yaitu hari
ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran.
Ibn Katsir di
dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah hari “Perang Badar”. Juga
berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu
terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara kebetulan Proklamasi
Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat). Pada Perang Badar itulah
dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar
disebut hari yang menentukan (yaum al furqân) karena perang itu adalah yang
pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman, para pengikut
beliau, dengan kemenangan (yang) telak, kemenangan yang benar (al haq), tauhîd,
atas yang palsu (al bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w.
dan orang-orang (yang) beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka
bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan.
Tetapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang
(yang) beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa
yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah
Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu
semua.
Jika benar yang
demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran,
adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali
dipercayai umat Islam, berdasarkan keterangan Nabi s.a.w., dalam hadis, bahwa
Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari
terakhir pada bulan Ramadhan. Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak
menjelaskan dengan rinci malam yang mana diantara malam-malam ganjil itu yang
sesungguhnya (malam) Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai
suatu hikmah agar umat Islam tidak mengkhususkan dalam memperbanyak ibadah
hanya dalam satu malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam
sepuluh malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah itu. Tetapi,
karena perbedaan tersebut, maka di Indonesia ada sesuatu yang amat unik (tidak
terdapat di negara Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah
Sesutu yang berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap
tanggal 17 Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al Quran
dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al Quran itu
bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al Quran, yang
kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di
dalam al Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Sudah tentu
tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu yang dalam perspektif
dakwah “baik”, dan oleh karenanya layak dipertahankan. Sebab telah terbukti
membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan social keagamaan kita. Namun
adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari
titik temu, sehingga tidak ‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai
peringatan Nuzûlul Qurân setiap tahun .
Agaknya ada
perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturunkan Allah pada hari
yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT
(terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengesankan
pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan
tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al Quran itu sendiri secara
keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al Quran ke dalam
Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui cukup otoritatif oleh sebagian
peminat studi al Quran, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada
hari yang menentukan (yaum al furqân) itu adalah al Quran itu sendiri, mungkin
dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn Abbas terkutip di atas. Isyarat A.
Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al Furqân (penentu atau
pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross
reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al Quran.
Dalam Surat al Qadr
yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahnya: “pada malam itu,
turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”.
Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud
"Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad, seorang penerjemah
dan penafsir al Quran yang juga memiliki otoritas, mengartikan Rûh dalam firman
Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu
sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi) dalam “makna” yang seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Wallâhu A’lam.
Malam kemuliaan
dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul Qadar, yaitu suatu malam
yang penuh kemuliaan dan kebesaran, Karena pada malam itulah permulaan turunnya
(wahyu) al-Quran.
QS al-Dukhân,
44: 3
QS al-Baqarah,
2: 185.
QS al-Anfâl, 8:
41.
Makna barakah
dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan bersifat kontinyu
atau berkesinambungan.
Dari al Quran ditemukan penjelasan
bahwa wahyu Allah diturunkan pada Lailatul Qadar. Akan tetapi karena umat
sepakat bahwa al Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah Nabi
Muhammad wafat maka berdasarkan logika tersebut ada sebagian umat Islam yang
berpendapat Lailatul Qadar tidak akan hadir lagi. Namun pendapat tersebut ditolak
oleh mayoritas ulama karena mereka berpegang pada teks al Quran dan Hadits Nabi
bahwa Lailatul Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Nabi bersabda
تَحَرّوْا
لَيْلَةَ الْقَدْرِ فىِ الْوِتْرِ مِنْ عُشُرِ الأوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ (رواه
البخارى عن عائشة)
Hadits tersebut
menganjurkan agar umat mempersiapkan jiwa mereka menyambut Lailatul Qadar
khusus pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Penjelasan
tersebut diperkuat dengan kalimat mudhari’ (present tense) dalam ayat 4 surat
al Qadar yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadi sesuatu pada masa
kini dan masa dating (dalam ilmu nahwu disebut zaman hal dan zaman istiqbal).
Jika membaca
sejarah Nabi beliau pertama kali menemui Lailatul Qadar adalah saat beliau
sedang menyendiri di Gua Hira, merenung tentang dirinya dan masyarakat, saat
jiwa Nabi telah sampai pada kesuciannya turunlah Ar Ruh (Jibril) membawa ajaran
dan membimbing Nabi sehingga terjadi perubahan total dalam perjalanan hidupnya
bahkan perjalanan hidup manusia. Berdasarkan sejarah tersebut maka menurut
hemat saya Lailatul Qadar tidak serta merta menemui atau ditemui oleh orang
yang hanya mempersiapkan diri ketika malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir
bulan Ramadhan. Namun jauh dari itu Lailatul Qadar hanya akan menemui dan
ditemui oleh orang yang sejak awal kehidupannya sudah mempersiapkan diri dengan
menyucikan jiwanya. Pendapat tersebut bukan berarti mengucilkan usaha orang
yang beri’tikaf pada malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan namun
menganjurkan agar kita selalu menyucikan jiwa selama perjalanan hidup ini agar
kita siap menerima segala hal yang suci dari Allah SWT.
Mengenai tanda-tanda
fisik Lailatul Qadar ada banyak riwayat menjelaskan kedatngannya diantaranya:
وَأمّارَتُهَا أنْ
تَصْبِحَ الشّمْسُ فىِ صَبِيْحَةِ يَوْمِهَا بَيْضًا وَلاَشِعَاعَ لَهَا
Tanda kehadiran
Lailatul Qadar adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar
(HR. Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi).
وَأمّارَتُهَا
أنّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَانَ فِيْهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةً لَابُرْدَ فِيْهَا
وَلَا حَرّ.....
Tandanya adalah
langit bersih, terang bagaikan bulan purnama, tenang, tidak dingin dan tidak
pula panas…(HR. Ahmad dan Hambal).
Sayyid Abu Bakar
menjelaskan bahwa jika awal Ramadhan dimulai pada hari ahad atau rabu maka
Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 29 Ramadhan. Jika awal Ramadhan
dimulai pada hari senin maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 21
Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada hari selasa atau jum’at maka Lailatul
Qadar terjadi pada malam tanggal 27 Ramadhan. Jika awal Ramadhan dimulai pada
hari kamis maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal 25 Ramadhan. Jika awal
Ramadhan dimulai pada hari sabtu maka Lailatul Qadar terjadi pada malam tanggal
30 Ramadhan. (baca I’anatuth Thalibin, jilid. 2 bab lailatul qadar).
Referensi:
Tafsir Ibnu
Katsir, jilid. 2
Tafsir Ash Shawi,
jilid. 2
Tafsir An Nawawi,
jilid. 1
Fiqih Sunnah,
Sayyid Sabiq, jilid. 1
I’anatuth
Thalibin, jilid. 2
Wawasan al
Quran, Qurasih Shihab.